Headline News :

Kamis, 17 Juni 2010

Pendidikan Kaum Marjinal

Pendidikan Indonesia dewasa ini menjadi lebih dinamis. Hal ini disebabkan oleh perubahan sosial dalam tatanannya, seperti yang diungkapkan Gyford (2007) perubahan sosial bisa terjadi karena konflik sosial, struktur masyarakat, perkembangan produksi teknologi, politik, budaya, modernisasi, dan westernisasi.
Dalam kelanjutannya perubahan sosial akan berdampak terhadap tatanan pendidikan dan sistem pendidikan lainnya. Dampak perubahan itu tidak selalu negatif namun juga positif bagi dunia pendidikan. Kemungkinan positif yang terjadi adalah perubahan sosial itu menuntut kemampuan dalam melakukan perubahan terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Seperti halnya pendidikan alternatif yang secara fenomenal tumbuh menjamur hampir disetiap provinsi, khususnya di pulau jawa.

Singkat cerita pernah suatu waktu saya “ngobrol” dengan pengamen jalanan dengan umur sekitar 13-an, saya ingin tahu apa persepsi dia tentang sekolah pada umumnya (sekolah formal). Jawaban anak itu membuat saya mengernyitkan dahi sambil berpikir, “sekolah cuma ngabisin duit, gw gak bisa makan kalo sekolah. Apalagi sekolah tuh capek bikin PR mulu, mending gw ngamen dan bisa makan” ungkapnya. Perjalanan kehidupan yang dijalani anak itu mungkin tidak seberuntung saya, bisa jadi pendidikan formal tidak “berpihak” pada anak itu dan anak – anak lainnya yang bernasib sama. Terlebih lagi paradigma yang terus melekat pada masyarakat level bawah bahwa sekolah formal itu hanya untuk orang mampu, sekolah formal itu tidak menyenangkan, dan sekolah formal itu sia – sia. Lantas pendidikan seperti apa yang tepat bagi mereka? Bagi masyarakat marjinal, terpencil, miskin, dan kurang beruntung harus ada penawaran pendidikan dengan formulasi yang khusus dan tepat bagi mereka dan juga berbeda dengan pendidikan formal. Begitu juga bagi masyarakat akibat korban modernisasi dan westernisasi yang ditandai dengan renggangnya hubungan antar manusia karena keterasingan masing - masing.

Para pengambil kebijakan belum mengipaskan angin surga bagi kaum marjinal, alih – alih mereka “mandul” padahal memang harus serius dibicarakan. Para pengambil kebijakan lebih berorientasi pada pendidikan anak-anak kelas menengah ke atas. Mungkin terlalu sibuk dengan proyek - proyek sekolah internasional yang standar ekonominya selangit daripada serius memperjuangkan hak kalangan bawah untuk memperoleh pendidikan. Orang - orang miskin yang tereliminasi dari sekolah formal justru di anak tirikan dan tidak memperoleh dukungan finansial yang sama dari negara, sekalipun mereka masih dalam usia wajib belajar. Sekalipun jika pendidikan digratiskan secara menyeluruh dan utuh, maka dalam praktiknya tidak berlaku lagi sistem “menunggu bola”, harus ada suatu sistem “menjemput bola” bagi anak – anak yang sudah terlanjur terjun di gelapnya dunia jalanan. Hingga tulisan ini dibuat pendidikan gratis baru bisa dinikmati sebagian lapisan masyarakat saja.

Pendidikan alternatif menjadi jawaban atas ketidak jelasan birokrat dalam memperjuangkan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum marjinal. Model pendidikan alternatif pada dasarnya pemberdayaan si pembelajar dengan cara - cara yang berbeda dengan mainstream (sekolah pada umumnya). Subtansinya memiliki kesamaan secara universal, yaitu pendekatannya lebih bersifat pengembangan potensi individual, memberikan perhatian yang lebih besar pada peserta didik, dan pendidik, serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Pendidikan alternatif ditujukan pada pemenuhan kebutuhan belajar peserta didik masing - masing sesuai dengan minatnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Dalam prosesnya peserta didik dapat melaksanakan ativitas pembelajaran, tanpa menghentikan atau meninggalkan aktivitas kehidupan sehari - hari.

Dra. Utsman, M.Pd. dosen PLS UNNES berpendapat, pendidikan alternatif bagi kaum marjinal ini harus didesain untuk mengembangkan tekad anak keluar dari belenggu kemiskinan, memahami sejarah yang membuat mereka miskin, dan mengembangkan kesadaran tentang ada cara yang baik bagi mereka untuk keluar dari kemiskinannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, pendidikan untuk kaum miskin tidak didesain sekadar mengajarkan teknis membaca dan menulis, namun dengan memberikan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk mampu bangkt dari belenggu kemiskinan.

Masyarakat marjinal, seperti anak jalanan, kelompok miskin, masyarakat adat, serta mereka yang memiliki kemampuan berbeda, jika diberikan layanan pendidikan yang didesain secara khusus serta dikelola secara serius dipastikan kurang lebih akan dapat menyamai kualitas pendidikan mainstream yang hanya sekedar ”mendewakan” ijazah. Mereka memang tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti formula pendidikan mainstream karena keterbatasan yang mereka alami. Oleh karena itu pendidikan alternatif seperti pendidikan kesetaraan, pendidikan anak rimba, pendidikan untuk anak jalanan, pendidikan dengan home visit education perlu dikembangkan di masyarakat.

Penulis berharap nilai – nilai dan semangat pendidikan yang dibangun pendidikan alternatif dapat merubah kondisi pendidikan di Indonesia. Memang tidak cukup rasanya jika hanya bicara, namun mudah – mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan kita bersama. HIDUP MAHASISWA !!! HIDUP PENDIDIKAN !!! HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!

*sumber : dari berbagai sumber

0 komentar: