Headline News :

Rabu, 23 Juni 2010

Higher Education Balances Quality and Affordability

The campus autonomy policy that was launched in 2000 has resulted in a cut in government subsidies for state universities and, consequently, an increase in admission and tuition fees. It seems now that only those from well-off families have access to higher education. National Education Ministry's Director General of Higher Education Fasli Jalal talked about the issue with The Jakarta Post's Erwida Maulia.

Question: Since the government launched the campus autonomy policy, tuition fees at state universities have been continuously increasing from year to year. Why is it so?

Wahai Dosen, Berbicaralah dengan Bahasa Manusia!

Itulah teriakan para mahasiswa kepada dosennya, yang mungkin nggak pernah tersampaikan, dan saya yakin akan menjadi blunder kalau diungkapkan. Kecuali bagi para mahasiswa yang memiliki kebebasan nilai IPK, kebebasan pola pikir, kebebasan penelitian, kebebasan finansial dan kebebasan ketergantungan serta ketaatan kecuali kepada satu yang Diatas. Mahasiswa pedjoeang yang tetap mau mengatakan kebenaran meskipun itu sangat sulit, pahit dan sakit. Tidak saya rekomendasikan, karena ungkapan semacam "Sensei no jugyo wa sonna naiyo deshitara, i-me-ru de okutta hou ga yoi dewanai deshouka?" (kalau isi kuliahnya kayak gitu, lebih baik kalau anda kirimkan ke saya lewat email saja prof) :) , saya jamin akan membuat nilai kita jadi Fuka alias tidak lulus. Jangan dilakukan, cukup saya yang jadi korban harus mengambil mata kuliah yang sama selama tiga tahun berturut-turut, sampai akhirnya harus puas mendapatkan nilai Ka alias C dari sang Professor. Professorku yang akhirnya jadi sahabatku dan membimbing penelitianku, meskipun tetap tidak bisa menghilangkan cacat nilaiku :D

MENINGKATKAN BUDAYA MEMBACA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUS

Membaca. Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata itu? Sebagian ada yang berfikir membaca adalah kegiatan yang membosankan. Ada juga yang mengatakan bahwa membaca hanya menyita waktu, tenaga dan pikiran. Bahkan ada yang berasumsi bahwa membaca bukanlah kegiatan yang bermanfaat karena tidak menghasilkan materi. Padahal, kalau kita mau berpikir kritis, kita akan menemukan begitu banyak manfaat dari kegiatan membaca. Dengan membaca suatu bacaan, seseorang dapat menerima informasi, memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan. Pemahaman terhadap kehidupan pun akan semakin tajam karena membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan sistematis. Hanya dengan melihat dan memahami isi yang tertulis di dalam buku pengetahuan maupun pelajaran, membaca bisa menjadi kegiatan sederhana yang membutuhkan modal sedikit, tapi menuai begitu banyak keuntungan.

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Mengapa Harus Meneliti

Penelitian, dari kata dasar teliti dan meneliti sebagai kata kerjanya, diartikan sebagai proses penelitian yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah (didasari konsep ilmiah, teori, ataupun paradigma ilmiah) untuk menemukan kebenaran ilmiah (menemukan konsep maupun teori baru) (Prof. DR. Daniel Saputra). Atau mungkin lebih sederhananya, penelitian merupakan kerangka kerja yang digunakan untuk menemukan, mencari dan mengeksplorasi suatu fenomena secara ilmiah. Namun, yang pasti bahwa obejek penelitian apapun itu adalah menarik dan memang pantas untuk diteliti.

Setiap orang bisa saja meneliti. Namun tidak semua orang mampu meneliti dengan baik dan benar (valid and reliable). Bahkan, bagi seseorang yang telah memiliki pengalaman penelitian yang banyak masih sering mengalami kesalahan. Bisa dibayangkan bagi kita yang masih kurang atau bahkan tidak memiliki pengalaman penelitian sama sekali. Tentunya kesalahan-kesalahan dalam membuat kerangka berpikir ilmiah untuk ditorehkan dalam penelitian merupakan hal yang wajar.

TIPS BELAJAR BAHASA INGGRIS

Bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional yang digunakan oleh seluruh negara di dunia. Peranan dan pengaruh bahasa Inggris sangat besar dalam kehidupan terutama yang berhubungan dengan dunia pendidikan, mulai dari sekolah dengan level terendah sampai tertinggi yaitu dari Playgroup/Taman Kanak-Kanak - Perguruan Tinggi serta di dunia kerja, bahasa Inggris juga telah menjadi syarat mutlak jika ingin mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan baik itu lokal maupun asing. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa Inggris sangatlah penting walaupun dalam penguasaannya ditemukan cukup banyak kendala terutama bagi negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, salah satunya adalah Indonesia. yang antara lain masih kurangnya motivasi dan keberanian untuk berbahasa Inggris, masih minimnya pengetahuan tentang bahasa Inggris, mind set masyarakat yang menganggap bahwa bahasa Inggris itu sulit, dll. Namun, permasalahan seperti itu tidaklah akan menjadi kendala yang berarti jika kita terus berusaha dan menerapkan cara jitu untuk memahami dan menguasainya,

MANUSIA BERJUDUL DOSEN

Berkatalah seorang bijak pada suatu RUANG dan WAKTU yang lalu :
"Para guru adalah Arsitek Jiwa Manusia"

Makna yang terkandung didalam kalimat tersebut, jelas mahasiswa dan Alumni suatu perguruan tinggi akan selalu menjadi cermin yang menyatakan segala kegagalan, kesuksesan dan kekurangan dari para guru / dosennya, inilah yang dinamakan REFLEKTOR MORALITAS.

Seorang filsuf Inggris JOHN LOCKE menyatakan hati seorang anak (calon Siswa Baru) merupakan "TABULA RASA" mempunyai arti ; Kertas kosong yang putih) dan tergantung apa yang akan diberikan kepadanya dan apa yang akan dituliskan kepadanya.

jika pernyataan ini dibaca dan dipahami dengan cermat, akan terlihat jelas setiap siswa baru akan menjadi satu alat 'pembersih dan pencuci bathin' bagi jiwa gurunya atau dosennya,sebab apa...? Karena pada saat ketika mengajar mahasiswa baru dengan segala ilmu dan seni yang belum mereka ketahui, pada saat itu juga si siswa baru mengajarkan kepada dosen akan kepolosan, keikhlasan, kejujuran dan tanpa topeng kemunafikan. Hal ini penting untuk para pendidik, sebagai sarana pencucian mata hati jiwa, KARENA DOSEN ADALAH ARSITEK JIWA MANUSIA.

Manfaat Elearning / E-Learning - Pembelajaran Online via Internet atau Intranet Services

Semakin banyak perusahaan dan individu yang memanfaatkan e-learning sebagai sarana untuk pelatihan dan pendidikan karena mereka melihat berbagai manfaat yang ditawarkan oleh pembelajaran berbasis web - internet ini. Dari berbagai komentar yang dilontarkan, ada tiga persamaan dalam hal manfaat yang bisa dinikmati dari e-learning.

Fleksibilitas

Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran.

Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan palmtop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses e-learning.

Senin, 21 Juni 2010

Waspadalah 12 Penyakit Yang Rentan Diderita Oleh Para Pendidik

Dari Mendiknas himbauan : Waspadalah 12 penyakit yang rentan diderita oleh para Pendidik, yaitu :

1. TIPUS : TIdak PUnya Selera

2. MUAL : MUtu Amat Lemah

3. KUDIS : KUrang DISiplin

4. ASMA : ASal MAsuk kelas

5. KUSTA : KUrang STrAtegi

14 Jenis Dilombakan Dalam Jambore PTK-PNF

Kepala UPTD- SKB Tenggarong Seberang Ida Wahyu Sayekti, M.Pd mengatakan bahwa UPT Sanggar kegiatan belajar merupakan salah satu institusi pemerintah daerah yang memiliki tanggungjawab dan kewenangan dalam melaksanakan pembinaan dan peningkatan mutu PTK-PNF. Hal tersebut juga salah satu upaya membantu dinas pendidikan untuk memberikan penghargaan bagi PTK-PNF yang berprestasi dalam pelaksanaan tugas profesionalismenya.Salah satu bentuk penghargaan diwujudkan dalam even jambore PTK PNF yang meliputi lomba karya nyata (LKN), Lomba Karya Tulis (LKT) perlombaan olahraga seni. "Perlombaan ini dilaksanakan dalam bentuk jambore PTK-PNF tingkat SKB Tenggarong, sebagai ajang kompetensi dari 6 kecamatan wilayah kerja SKB Tenggarong untuk saling tukar pikiran dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing," kata Ida Wahyu Sayekti Selasa (6/4) kemarin.

CATATAN KAKI JAMBORE 1000 PTK PNF

Jambore 1000 PTK PNF Tingkat Nasional di Yogyakarta yang baru saja berakhir menyisakan beberapa catatan yang dapat dijadikan perenungan kita bersama sebagai pelaku dan pemangku kepentingan pendidikan nonformal.

Ketika diputuskan penyelenggaraan Jambore PTK PNF Tingkat Provinsi diserahkan oleh UPTD/UPT BPKB/BPPNFI/P2PNFI saya menduga akan terjadi persaingan ketat dalam kompetisi pada tahun ini. Hal ini didasarkan bahwa teman-teman Pamong Belajar memiliki waktu yang cukup dibanding teman-teman di Dinas karena mereka volume pekerjaannya relatif lebih tinggi sehingga mampu menyiapkan kontingen dengan lebih baik. Disamping itu saya melihat bahwa ada ekspektasi yang tinggi pada diri teman-teman di UPTD/UPT untuk meraih prestasi pada ajang Jambore 1000 PTK PNF Tingkat Nasional tahun ini. Namun demikian ketika diumumkan prestasi masing-masing mata lomba ternyata kekuatan belum banyak bergeser antara DIY dan Jawa Tengah. Walaupun demikian terdapat 23 provinsi yang mampu meraih prestasi peringkat pertama, kedua dan ketiga.

Sebuah Catatan Lomba Jambore PTK PNF Tingkat Propinsi

Beberapa hal yang perlu sebagai menjadi evaluasi bagi Panitia Penyelenggara :

1. Sarana untuk presentasi peserta ( Slide Proyektor/LCD) menjadi alat vital untuk mempresentasikan karya blog. Sangat menyedihkan jika semua peserta telah mempersiapkan slide prestasi tapi saat presentasi tidak tersedia LCD Proyektor.

2. Khusus untuk Lomba Blog sangat diperlukan akses internet dengan bandwidth yg cukup. Hal ini sangat membantu peserta untuk melakukan demostrasi aspek teknis pembuatan blog. Pada kenyataannya saat lomba blog tidak ada akses internet ( kalaupun ada sangat minim dengan akses modem USB Flash yang sangat lemot.

3. Dewan juri yang independen. (dari beberapa informasi Dewan juri dan juga pengakuan Juri secara lisan, ada yang berasal dari Lembaga Kursus yang juga menjadi Peserta Lomba Pengeloan Blog. dll). Hal ini akan menimbulkan kesangsian akan objektifitas Penilaian.

Beberapa hal yang perlu dipahami oleh Dewan Juri :

1. Pemahaman kolektif dan mendalam tentang PTK PNF, beserta unsur yang menjadi system pada PTK PNF itu sendiri. PTK PNF itu tidak berdiri sendiri tetapi Struktur yang saling melengkapi dan memililiki keterkaitan satu sama lain dalam hal birokrasi, administrative, kelembagaan dan banyak aspek lainnya.
2. Waktu untuk Presentasi yang cukup sempit disediakan untuk masing-masing peserta (13 menit Presentasi)
3. Perlu Dewan Cermati Persyaratan Blog Untuk Lomba (sesuai Juknis) yaitu. Blog harus telah published minimal 2 bulan sebelum Presentasi.
b. Minimal memiliki 16 (enambelas) kali Postingan ( 2 kali posting per minggu)

Jumat, 18 Juni 2010

KEMDIKNAS TARGETKAN DAYA TAMPUNG UNIVERSITAS NAIK 30 PERSEN

Jakarta, 17/6/2010 (Kominfo Newsroom) – Kementerian PendidikanNasional (Kemendiknas) menargetkan penambahan kapasitas atau porsimahasiswa baru di perguruan tinggi akan naik 30 persen pada tahun2014.

Untuk mencapai target itu, Kemendiknas memberikan hibah ataublock grant, baik kepada perguruan tinggi negeri maupun perguruantinggi swasta, kata Wakil Mendiknas Fasli Jalal di sela-sela sidakSeleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri di SMA Negeri 1Bekasi, Jawa Barat, Kamis (17/6).

Menurutnya, tujuan diberikannya block grant kepada perguruantinggi adalah untuk peningkatan mutu sekaligus memacu perguruantinggi menambah kapasitas di masing-masing fakultas.

WAMENDIKNAS: MASIH ADA SISWA BAWA HP KE RUANG UJIAN SNMPTN

Jakarta, 17/6/2010 (Kominfo Newsroom) – Pelaksanaan SeleksiNasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) diduga kuat masihdiwarnai pelanggaran karena masih saja ada peserta SNMPTN yangmembawa hand phone (telepon genggam) ke dalam ruangan ujian.

Masih ditemukan sejumlah pelanggaran, misalnya ada calonmahasiswa yang menggunakan telepon seluler, kata Wakil MenteriPendidikan Nasional Fasli Jalal sewaki melakukan inspeksi mendadak(sidak) dan meninjau pelaksanaan SNMPTN hari kedua di Gedung SMAN 1Bekasi, Jawa Barat, Kamis (17/6).

Kamis, 17 Juni 2010

Lepaskan Tali Penambat Perahu Anda dan Berlayarlah

Hidup kita diibaratkan sebuah perahu, yang terbuat dari kayu terbaik, dilengkapi dengan alat-alat komunikasi yang lengkap, layar yang gagah dan dengan kompas penunjuk arah. Nah, demikian juga diri kita diciptakan dengan sangat baik oleh Allah, dilengkapi dengan bakat, talenta serta kemampuan yang luar biasa oleh Allah dan diberi hati nurani dan akal budi serta kebebasan untuk menjalani perahu kehidupan kita secara baik dan benar. Kesejatian hidup kita adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai, menghalau gelombang dan menemukan pantai harapan kebahagiaan kita dan keselamatan hidup abadi.

Strategi Pengembangan Kelompok Bermain

Strategi Pengembangan Kelompok Bermain

A.Latar Belakang
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi pemersatu bangsa,penyamaan kesempatan dan pemgembangan potensi diri.Berdasarkan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan in formal. Pendidikan non formal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pendidikan Non Formal diharapkan mampu mendukung terwujudnya tujuan pendidikan yakni meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri.

MODEL PEMBELAJARAN ATRAKTIF PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

MODEL PEMBELAJARAN ATRAKTIF PADA
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

Sasaran utama dalam kerangka sistem dan aktifitas persekolahan di antaranya mempersatukan pendidikan dan kreatifitas peserta didik. Tujuannya untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak didik termasuk potensi memberikan respon kreatif terhadap hal-hal yang ada di sekitar kehidupannya. Ada yang beranggapan bahwa bila daya kreativitas peserta didik rendah, maka secara pedagogis ada yang kurang pas dalam kerangka sistem dan aktivitas persekolahan. Pendidikan selama ini adalah suatu proses belajar mengajar yang rutin dan statis, kalaupun ada perubahan atau perbaikan sifatnya masih sepotong-sepotong dan parsial. Padahal pembaharuan dan perubahan tidak hanya menyangkut didaktik metodik saja, melainkan menyangkut pula aspek-aspek pedagogis, filosofis, input, proses, dan output.. Proses belajar itu dilaksanakan dalam suasana inovatif [innovative Seaming). Suasana belajar yang inovatif dapat memecahkan persoalan-persoalan krisis dalam pendidikan dan membentuk ketahanan anak didik maupun sekolah dalam menghadapi kehidupan serta menjaga harkat martabat manusia supaya tetap berkembang.

LASKAR PELANGI: SEBUAH POTRET PENDIDIKAN KAUM MARGINAL DI INDONESIA

Pertama kali saya meihat cuplikan film “Laskar Pelangi” di layar kaca beberapa bulan yang lalu, terbersit di benak saya bahwa film Laskar Pelangi merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia. Tema yang diusung pun sangat apik, menyentuh dan sangat dekat dengan kehidupan orang-orang yang terpinggirkan atau istilah lainnya adalah kaum marginal. Pikiran dan hati saya semakin melambung ketika di situ digambarkan ada sebuah sekolah yang sangat sederhana, bahkan dapat dibilang sangat memprihatinkan. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang alur cerita tersebut, hingga pada akhirnya saya menonton sendiri film tersebut dari awal hingga akhir.

Pertama menonton, saya menangkap sebuah kesederhanaan dan keriangan dari anak-anak kecil yang tinggal di pulau. Tempat tersebut jauh dari kemewahan, kebisingan, namun sarat dengan kedamaian. Nuansa pendidikan begitu kental, pelajaran hidup mengalir lewat laku dan dialog para tokoh.

Pendidikan Kesetaraan Bukan Hanya untuk Kaum Marjinal

JAKARTA, SPIRIT-- Paradigma lama yang menyatakan pendidikan kesetaraan hanya ditujukan kepada kaum marjinal, tidak pernah bersekolah, putus sekolah atau sebagai pilihan terakhir melanjutkan pendidikan harus ditinggalkan karena semua kalangan berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan pilihannya.

"UU Sistem Pendidikan Nasional menyatakan hasil pendidikan non formal, yakni paket A, paket B dan paket C dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP), kata Direktur Pendidikan Kesetaraan Ditjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Depdiknas, Ella Yulaelawati, di Jakarta, belum lama ini.



Saat ini, ujar Ella, layanan pendidikan kesetaraan banyak diselenggarakan melalui sanggar kegiatan belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), rumah singgah dan sebagainya.

Karena pendidikan kesetaraan sifatnya terbuka, utamanya bagi masyarakat yang belum berkesempatan melanjutkan pendidikannya karena alasan bekerja, menekuni bidang keahlian tertentu maka sejak lima sejak lima tahun terakhir banyak permintaan dari komunitas tertentu seperti atlet, artis, seniman musik, seniman tari, pelukis untuk melakukan pembelajaran mandiri dengan membentuk Sekolah Rumah.

"Pendidikan kesetaraan karena sifatnya terbuka dan mandiri, maka membuka peluang bagi masyarakat untuk memilih waktu yang paling tepat untuk mengelola sendiri kapan mereka akan memulai pembelajaran tanpa harus terikat ruang dan waktu," katanya.

Ella mengatakan, di kota-kota besar sudah muncul kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi memilih jalur pendidikan formal karena alasan harus menekuni profesi tertentu.

Selain itu, kini banyak pula orang tua dari kalangan menengah ke atas yang kini memilih mendidik secara mandiri anak-anak mereka dengan mendatangkan guru ke rumah dan pada saat ujian akhir mereka mendaftar pada komunitas Sekolah Rumah dan secara kolektif berkoordinasi dengan Direktorat Kesetaraan Ditjen PNFI menyelenggarakan Ujian pendidikan kesetaraan sesuai dengan kelompoknya Paket A, Paket B atau paket C, katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, saat ini komunitas Sekolah Rumah sudah banyak yang mendirikan organisasi sebagai wadah bertukar informasi, menambah referensi dan sebagainya seperti organisasi yang didirikan Seto Mulyadi atau kak Seto yakni Pena Asuh, Global Scope, Dewi Hughes Home Schooling, serta komunitas lain yang dibentuk oleh sejumlah tokoh masyarakat.

Ia mengatakan, pendidikan kesetaraan dilaksanakan dengan tetap mengacu pada standar kompetensi dan standar isi yang sama dengan pendidikan formal dan telah disetujui oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang merupakan mitra pemerintah dalam penyusun dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional.
Karena itu, Direktorat Pendidikan Kesetaraan ke depan menginginkan lembaga-lembaga penyelenggaraan program paket A, B dan C dan Sekolah Rumah agar melaksanakan pembelajaran secara fokus sehingga tidak ada keraguan masyarakat untuk menjadikan pendidikan non formal sebagai pilihan mengikuti pendidikan. (republika online)

BELAJAR MEMBACA PADA ORANG DEWASA MELALUI PENDIDIKAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL

Jika kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang orang dewasa yang baru melek aksara pun, tidak tertarik dengan buku dan kegiatan membaca, sehingga mereka kembali menjadi buta aksara. Maka dari itu, tidaklah berlebihan jika pemerintah menyediakan media belajar membaca (yang sudah ada, misalnya: TBM/Taman Bacaan Masyarakat, Mobil Pintar, Perpustakaan Keliling), untuk warga masyarakat yang memiliki antusias terhadap buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka bukan dari golongan masyarakat berkelas. Hal tersebut mungkin mendatangkan kontroversi, dengan alasan bahwa karakter dan kebutuhan orang dewasa lebih bersifat praktis dan fungsional serta sesuai dengan kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga mereka tidak tertarik pada buku dan kegiatan membaca, jika buku dan kegiatan membaca tersebut tidak bisa difungsikan dalam kehidupan sehari-hari terutama terkait dengan kebutuhan sehari-hari yang pemenuhannya memang tidak mungkin ditunda. Karena karakter orang dewasa seperti tersebut diatas, maka bagi orang dewasa yang masih buta aksara dan orang dewasa yang baru mulai belajar membaca, disediakan wahana untuk belajar membaca melalui program Pendidikan Keaksaraan Fungsional, yang dalam metode pembelajarannya menggunakan pendekatan andragogi, yaitu suatu suatu ilmu dan seni untuk membantu orang dewasa belajar.
Dalam program keaksaraan fungsional perlu menggunakan pendekatan andragogi selain mengingat bahwa orang dewasa punya karakter dan kebutuhan yang bersifat praktis, juga mengingat bahwa terdapat prinsip-prinsip belajar orang dewasa yang harus kita hargai, manakala kita membantu para orang dewasa untuk belajar.
Prinsip-prinsip belajar orang dewasa tersebut adalah:
1. Pembelajaran harus berorientasi pada masalah (problem oriented)
2. Pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman peserta didik (experience oriented)
3. Pengalaman belajar harus penuh makna (meaningfull) bagi peserta didik.
4. Peserta didik bebas untuk belajar sesuai dengan pengalamannya
5. Tujuan belajar harus ditentukan dan disetujui oleh peserta didik
6. Peserta didik harus memperoleh umpan balik tentang pencapaian tujuan.
Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip tersebut diatas dalam membantu para orang deawasa belajar, maka diharapkan pencapaian hasil belajar bisa sesuai dengan apa yang diharapkan penyelenggara pendidikan, pendidik (tutor), maupun peserta didik (warga belajar),
Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Dimyati (2006) menyatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Keaksaraan Fungsional merupakan suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, mengamati dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya (Direktorat Dikmas, 1998). Sementara itu, tentang pengertian keaksaraan fungsional, Umberto Sihombing (1999) menyatakan, Keaksaraan Fungsional adalah pengembangan dari program pemberantasan buta huruf yang bertujuan meningkatkan keaksaraan dasar warga masyarakat buta aksara sesuai dengan minat dan kebutuhan hidupnya.
Bertolak dari pengertian-pengertian tersebut diatas, maka pembelajaran keaksaraan fungsional dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar untuk mengembangkan kemampuan penyandang buta aksara, fungsional dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca dan berhitung, mengamati dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya sebagai sumber belajar.
Konsep Dasar Belajar Membaca Bagi Orang Dewasa.
Menurut Montessori, membaca adalah bahasa yang ditulis. Membelajarkan membaca pada orang dewasa berbeda dengan membelajarkan membaca pada anak-anak, karena orang dewasa sudah punya sikap hidup, pandangan terhadap nilai-nilai hidup, minat, kebutuhan, ide/gagasan, hasrat-hasrat dan dorongan-dorongan untuk melakukan suatu perbuatan. Orang dewasa juga sudah banyak pengalaman-pengalaman hidup (lebih banyak dari oada anak-anak), dan pengalaman tersebut merupakan sumber yang paling kaya dalam proses belajar orang dewasa.
Pengalaman menunjukkan bahwa membaca paling efektif dimulai dari sesuatu yang bermakna, terdekat dan melekat dengan dirinya, kemudian meluas dan melebar dari tahapan yang satu ke tahapan berikutnya. Sesuatu yang bermakna, terdekat, dan melekat pada diri orang dewasa misalnya “nama diri”. Meskipun mereka buta aksara, tidak mengalami kesulitan untuk melafalkan nama dirinya.
Orang dewasa yang buta aksara juga akan lebih mudah memahami suatu hal apabila itu dapat diterapkannya melalui beberapa panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan dan lain-lain), lebih-lebih apabila dihayati dengan melakukannya sendiri, seperti kata pepatah ”I hear and I forget, I see and I remember, I do and I understand”.
Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa membelajarkan membaca pada orang dewasa, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Mulai dari sesuatu yang bermakna bagi dirinya.
2. Hal-hal yang dibaca harus mempunyai arti/makna yang jelas, dan dimulai dari yang terdekat dengan dirinya.
3. Belajar membaca dimulai dari hal-hal yang konkrit dan sudah dikenal.
4. Gunakan kata-kata yang sifatnya repetisi dan sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Metode Pembelajaran Membaca Pada Orang Dewasa Dalam Pendidikan Keaksaran Fungsional.
1. Metode PPB (Pendekatan Pengalaman Berbahasa)
Dalam metode PPB ini bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah bahasa yang dikenal/dipakai peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, dengan cara Tutor meminta peserta didik untuk mengucapkan sebuah kalimat. Kalimat tersebut ditulis pada kertas, lalu dibaca bersama-sama. Setelah itu kertas dipotong menjadi kata per kata, tutor membantu peserta didik untuk mengingat kata-kata diatas dengan menggunakan permainan, diantaranya : buka tutup, memindahkan posisi, dsb.
2. Metode SAS (Struktur Analisis Sintesis)
Dalam metode SAS ini, tutor menulis kalimat yang lengkap terdiri dari dari subyek, predikat, obyek dan keterangan (SPOK), lalu
tutor dan peserta didik bersama-sama membaca kalimat tersebut sampai peserta didik memahami arti kalimat tersebut. Kemudian kalimat tersebut diuraikan menjadi kata, suku kata sampai menjadi huruf. Pada tahap ini peserta didik selain memahami arti kalimat dan kata per kata, juga belajar untuk menghafal dan melafalkan huruf-huruf yang membangun kata dan kalimat tersebut.
3. Metode Kata Kunci
Dalam metode kata kunci, kata-kata kunci yang akan dijadikan bahan belajar dipilih dari berbagai alternatif kata yang diajukan oleh para peserta didik, kemudian kata-kata tersebut digunakan untuk memancing pikiran kritis peserta didik, sejak awal kegiatan sampai akhir kegiatan.
4. Metode Suku Kata
Suatu metode yang diawali dengan pengenalan dan pemahaman terhadap suku kata tertentu yang mudah dibentuk, ditulis dan dilafalkan, dan yang paling banyak digunakan dalam pengucapan. Kemudian suku kata tersebut diuraikan menjadi huruf , dan huruf-huruf tersebut dbentuk menjadi suku kata yang baru, sehingga pserta didik memahami betul.
5. Metode Abjad
Dalam metode abjad ini, peeserta didik tidak hanya sekedar mengenal lambang bunyi dari A sampai Z, yang belum tentu bermakna bagi mereka. Akan tetapi peserta didik membuat bahan belajar dengan kata-kata yang dipilihnya sendiri, yang sesuai minat, kebutuhan dan bermakna bagi peserta didik serta sesuai dengan situasi di lingkungan sekitarnya.
Metode ini bisa dilakukan dengan cara peserta didik diminta membuat kata-kata, lalu pada setiap kata tersebut kita tunjukkan abjad apa yang mengawalinya. Misalnya kata Bola, huruf awalnya adalah B, kata sapu, huruf awalnya adalah S, Kartini huruf awalnya adalah K, dan lain-lain.
6. Metode Transliterasi
Dalam metode ini, mengalihkan aksara dan angka dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Mengingat di Indonesia sebagian peserta didik sudah melek aksara dan angka ”Arab”, namun masih buta aksara dan angka ”Latin”, maka dalam kaitan ini yang dimaksud metode tranliterasi ini adalah mengalihkan bentuk aksara dan angka Arab ke bentuk aksara dan angka latin., dengan syarat: memperhatikan kedekatan pelafalan antara kedua aksara yang bersangkutan.
7. Metode Iqra
Metode ini adalah cara belajar secara sistematis dimulai dari hal-hal yang sederhana, meningkat setahap demi setahap (dari huruf menjadi suku kata, dari suku kata menjadi kata dan akhirnya menjadi kalimat). Misalnya:
A BA
A BA BA A BA BA
BA A BA A BA BA BA BA A
TU BA TU TU BA
TA BA TA TA BA
BA TU BA TA
BU AT BU AT
BU AT BA TU BA TA
BU DI
BU DI BU AT BA TU BA TA

Belajar Membaca Dengan Multi Metode
Dalam penerapannya membelajarkan orang dewasa membaca, sebaiknya menggunakan mulitu metode sekaligus, tanpa harus merasa tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional. Dengan kata lain, dalam membantu orang dewasa belajar membaca melalui program pendidikan keaksaraan fungsional, kita bisa memperkenalkan kepada orang dewasa buta aksara tentang semuanya, baik itu huruf, suku kata maupun kata-kata dengan beberapa metode tersebut diatas. Dengan catatan penting, tentu saja penyajiannya sesuai dengan karakter dan kebutuhan orang dewasa, yaitu : (a) Harus selalu ingat bahwa orang dewasa sudah banyak pengalaman hidupnya, (b) Menggunakan pendekatan andragogi, (c) Memanfaatkan pengalaman orang dewasa sebagai bahan belajar, (d) Memnafaatkan potensi yang di sekitar untuk sumber belajar.
Dengan dmikian, para orang dewasa yang belajar tersebut tidak merasa digurui dan merasa diterima apapun adanya mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode terhebat sekalipun.
Nah, jangan berhenti membelajarkan orang dewasa yang masih buta aksara, mengingat bahwa sebagai manusia sebaiknya memang tidak berhenti belajar. Sehingga akan terwujud masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Semoga..............

KEPEDULIAN MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN WIRASWASTA DALAM BENTUK KARYA-KARYANYA

Pada awalnya bahwa wiraswasta memang mengalami peningkatan yang sangat signifikan sekali karena didasari oleh niat dan semangat kerja keras agar supaya usahanya itu berjalan dengan lancar. Hal inilah yang perlu kita kaji ulang tentang mengapa usaha usaha yang berkarya sendiri lebih berkembang daripada mengikuti pekerjaan orang lain. Apa sebenarnya yang menjadi topik penyebab ini, apakah ini merupakan keharusan dari atas dasar niat ataupun hanya iseng belaka. Perkembangan jaman semakin maju banyak import asing yang masing ke negara kita yaitu Indonesia sehingga saking banyaknya produk-produk keluaran dari asing malah menang yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa kita kalah terhadap kemajuan jaman dario luar negeri sedangkan kita hanya ketergantungan terus. Mana jiwa pemimpin kita dan mana rasa nasional dan patriotisme kita terhadap kemajuan jaman ini.

Dalam pandangan menurut tingkat kemajuan jaman ini sebenarnya kita bisa untuk melakukannya hanya terang saja orang-orang kita sedikit punya sifat malas-malasan sehingga pikiran kita hanya tertuju pada datangnya import terus. Nah inilah justru yang kita sayangkan sebagai bangsa Indonesia. Bangsa kita khan besar yang mempunyai potensi apa saja mulai dari wisata kekayaan alam seni dan budaya dan lain-lain mengapa tidak mempergunakan ini malah jika kita mau untuk mempromosikan kekayaan kita ini kepada pihak asing maka yang kita akan senang dan bangga karena inilah sifat dari manusia bangsa Indonesia yang sebenarnya dan yang mau mencintai dan mempergunakan produk buatan negeri kita sendiri.Pada dasarnya hasil dari kekayaan kita ini nanti untuk siapa ya untuk kita kita ini mulai dari fasilitas yang memadai sampai yang lainnya.

Kita punya lambang negara yaitu Burung Garuda Pancasila yang artinya burung ini mampu mempersatukan memperjuangkan dan menarik simpati bangsa lain untuk datang dan berkunjung ke negeri kita guna tujuan memberikan kesan yang baik sehingga kita bisa bertukar kebudayaan pikiran bahasa dan lain sebagainya.Apapun yang terjadi bangsa Indonesia tetap bangsa yang dulu yaitu bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para pahlawan mulai dari jaman kerajaan pancawati dari seorang raja yang bernama prabu puntadewa sampai kerajaan yang sekarang sudah berdiri.Maka dari itu kita jangan melupakan sejarah. Sejarah bukan asal-asalan tapi sejarah merupakan tolak ukur dari keberhasilan hidup kita sebagai rakyat Indonesia. Kita mengenal patih Gajah mada yang mampu mempersatukan nusantara beserta bentuk kekayaan leluhurnya mulai dari Sabang sampai Merauke.

Nah dari hasil beliau ini kita bisa gali kembali semuanya tanpa terkecuali. Apa dibalik latar belakang bahwa negara Indonesia punya segala-galanya yaitu mengenai niat yang tulus dan mau memberikan sebuah hasil yang didapatnya untuk nantinya dapat di budidayakan kembali.

MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MARJINAL MELALUI PENDIDIKAN LIFE SKILL

Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Artinya bahwa manusia sepanjang hidupnya membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya dan hal ini secara tidak langsung tercermin pada aspek kehidupan kita sehari – hari misalnya dalam berorganisasi maupun dalam pergaulan masyarakat (bermasyarakat). Karena disanalah sebenarnya diri kita mengaktualisasikan potensi diri melalui proses pembelajaran pada permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Dunia pendidikan merupakan dunia yang unik dan penuh dengan beragam permasalahan, baik itu yang berasal dari intern maupun ekstern lingkungan pendidikan. Kondisi ini adalah hal yang wajar sekali, mengingat dunia pendidikan tidak saja mengelolah benda – benda fisik, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya yaitu mengelolah sesuatu yang hidup berupa manusia yang memiliki perasaan, pikiran, egoisme, nafsu / hasrat dan keinginan – keinginan lainnya.

Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan

TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif."Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

Razia Ponsel Siswa Terus Dilakukan

Tangerang (ANTARA News) - Aparat Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Tangerang, Banten, melakukan razia telepon selular terhadap siswa di daerah ini untuk mengantisipasi adanya gambar porno.

"Dari ratusan siswa pemilik ponsel yang dirazia, ternyata tidak ditemukan adanya gambar porno," kata Kepala Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan Dinas Pendidikan Pemkab Tangerang Undang R. Wahyudin, Rabu.

Dia mengatakan, pada tahap pertama razia digelar di SMA Negeri Balaraja. Belasan siswa pemilik ponsel digeledah, namun tidak ditemukan adanya gambar tidak senonoh di telepon tersebut.

Upaya yang dilakukan aparat Dinas Pendidikan itu mendapatkan tanggapan positif dari orang tua siswa. Bahkan razia itu melibatkan majelis guru dan kepala sekolah ketika jam istirahat, sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar.

Razia itu juga melibatkan guru Bidang Konseling (BK) tiap sekolah agar mereka dapat memantau aktivitas siswa selama mengikuti pelajaran.

Razia itu akan dilakukan di beberapa sekolah terutama SMA Negeri di Kecamatan Cikupa, Kecamatan Curug, Kecamatan Kelapa Dua, Kecamatan Mauk dan Kecamatan Teluknaga serta Kecamatan Pasar Kemis secara bertahap.
(A047/B010)

Seluruh Kepala Sekolah Diperintahkan Razia Ponsel

Karawang (ANTARA News) - Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mengintruksikan seluruh kepala sekolah merazia "handphone" siswa secara rutin untuk mengantisipasi penyebaran video porno di kalangan siswa.

"Razia handphone siswa di Karawang sudah dilakukan berkali-kali di setiap sekolah, dikomandoi oleh masing-masing kepala sekolah setempat," kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang, Eka Sanatha, kepada ANTARA, di Karawang, Kamis.

Dia mengatakan, intruksi itu dituangkan dalam surat edaran Bupati Karawang, Dadang S Muchtar yang salah satunya memerintahkan kepala sekolah menggelar razia ponsel milik siswa secara rutin.

Pepesan Kosong Politik Indonesia

Istilah pepesan kosong sering kali digunakan oleh orang saat membahas secara negatif sebuah pernyataan yang tidak didukung oleh tindakan nyata. Berkaitan dengan itu, di dunia komunikasi dikenal istilah Pesan Pokok yaitu pesan utama yang ingin kita sampaikan kepada pemangku kepentingan. Pesan Pokok ini selalu dikembangkan dari dan disertai dengan fakta-fakta yang ada. Bila sebuah Pesan Pokok disampaikan tanpa fakta maka Pesan Pokok tersebut akan kehilangan makna, karena akhirnya akan dianggap hanya sekedar pepesan kosong. Inilah yang terjadi saat ini dengan politik Indonesia, saat begitu banyak yang disampaikan atau diteriakkan tapi tanpa kenyataan di belakangnya.

FREEPORT MAKMUR DIATAS NEGERI LUMBUNG KONFLIK PAPUA

Oleh: Arkilaus A. Baho

Diakhir bergulirnya otonomi Khusus bagi rakyat Papua kita masih menyaksikan lumbung-lumbung konflik yang terjadi. Simak saja wilayah merah"sering timbul konflik" di Papua. Se-tidaknya adalah Timika, Nabire, Puncak Jaya dan wilayah terisolir lainya diPapua. Hampir sebagian wilayah konflik tersebut berdiri sejumlah investasi baik asing maupun lokal yang dijamin oleh negara.

Politik pecah belah tidak hanya bagian dari restorasi pemodal, tetapi juga pedang bagi kolonialisasi suatu wilayah. Dominasi antara modal dan birokrasi kolonial tidak bisa dibedakan antara pelaku dan agen dari usaha-usaha merubah tatanan rakyat setempat. Jaman sebelum dan sesudah Globalisasi, negara kapan saja dan dimanapun dapat memindahkan secara paksa komunitas warga dari pusat konsentrasi negara yang dianggap penting.

Logika tikus mati dalam lumbung padi, itulah kenyataan sekarang. Papua begitu kaya. Tetapi penduduknya mati karena kekerasan akibat konflik yang berkepanjangan. Beda kalau negeri lainya diluar Papua ada orang meningal karena kemiskinan. Sebut saja, Pembongkaran gunung Grasserg pertama dilakukan oleh Freeport, sudah sekitar tujuh puluh lima persen warga setempat punah. Itu baru terjadi disaat freeport mula-mula masuk diPapua. Warga dipindahkan dari gunung tambang yang kita kenal sekarang lalu digiring ke daerah dataran dekat laut. Kwamki lama yang sering terjadi perang budaya adalah salah satu lokasi penempatan warga Papua setelah digusur dari gunung nemangkawi.

Pemerintah Indonesia tidak segan-segan menembak mati siapapun diPapua yang berani menetang aset vital negara. Ratusan warga meninggal akibat protes besar-besaran di areal Freeport tahun 1980an hingga sekarang jumlahnya sudah tidak lagi ratusan. Tidak saja derita darah tumpah demi Freeport dialamai orang Papua tetapi warga negara lain pun mengalami nasib yang sama. Demi freeport saja, kasus-kasus penembakan di freeport harus dikubur. Sudah tuntaskah warga Australia yang tewas tertembak di Freeport beberapa waktu silam?. Sudah tuntaskan warga Amerika yang tewas tertembak di areal Freeport tahun 2001 silam. Apakah pelaku kekacauan selalu dicap pengacau keamanan dijaman Suharto, lalu dijaman Reformasi dicap separatis lalu sekarang dicap pelaku teror aja...?. Rantai konflik yang terjadi tidak bisa tuntas bila para pemodal terus gerilya dan meminta jaminan apapun kepada negara.

Saya menduga kasus-kasus yang sering terjadi di Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Wamena tidak berdiri sendiri dari suatu aktor besar yang ingin menjajakan kakinya. Siapa dia?, adalah FREEPORT. Alasanya, Freeport berkehendak memperluas areal operasinya ke daerah-daerah seputar pegunungan Papua. Sebaran emas dan Tembaga yang melimpah ruah di pegunungan Papua inilah, membuat perusahaan raksasa ini mau tidak mau harus memburunya hingga mendapatkannya.

Penjajakan operasi tambang Freeport di wilayah Nabire saja ditolak oleh warga setempat tidak lama ini. Tuntutan warga setempat kepada Freeport adalah Freeport siap menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Toh tuntutan ini berujung pada penolakan oleh Freeport. Bias dari penolakan ini maka dihembuskanya pemekaran Papua tengah. Miiterisasi pun digalang dengan mendirikan perlawanan sipil vs sipil. Sejumlah warga pendatang di kumpulkan lalu diadu dengan warga setempat. Maka di Nabire tidak heran bila terjadi pembunuhan berantai yang tak masuk akal.

Tidak jauh dari radius operasi Freeport, Puncak Jaya yang dibawah gunung ini telah di bor. Ketakutan Freeport atas gangguan keamanan inilah, kita saksikan operasi-demi operasi digalakan di wilayah ini. Kekuatan baru kelompok bersenjata didirikan di Puncak Jaya. Dengan alasan, bila saja ada konflik bersenjata, pemerintah dengan mudah menuduh Goliat Tabuni sebagai dalang. Padahal, kekuatan Goliat Tabuni tidak sehebat yang sering kita saksikan ditunjukan oleh negara ini dalam berbagai kasus-kasus. Nah, saya duga ada kaum bersenjata yang sengaja dipelihara negara dengan tujuan meyakinkan publik untuk tetap ada operasi di Pucak Jaya.

Dari segala lumbung konflik yang terjadi siapa yang mendapat keuntungan dari semua ini?. Sudah pasti, Freeport terus melebarkan arealnya ke wilayah-wilayah penghasil emas dan tembaga. Militer Indonesia mendapat hibah dari dana keamanan Freeport lalu di sedot dana keamanan negara melalui APBN dan APBD Otsus Papua. Kamtibmas di areal perusahaan bukan untuk ketentraman warga tetapi negara menggelar kamtibmas untuk pengamanan aset asing.

Konflik Papua harus diselesaikan dalam ruang pengentasan hegemoni imperialisasi aset ekonomi bangsa. Sudah lama negara ini berdiri, mari kita dewasa untuk mementingkan kepentingan rakyat daripada pemodal-pemodal serakah. Negara-negara berkembang lainnya justeru maju seketika mengadopsi kebijakan neoliberal dalam paket globalisasi. Indonesia justeru jadi sampah pembuangan arus globalisasi karena mentalitas pemimpin negeri ini tidak mengutamakan rakyatnya, kekayaanya tidak diproteksi, konflik kepentingan menganga tanpa kepastian keadilan hukum. Membiarkan penguasaan asing diPapua jangan berharap NKRI utuh sebaba kapan saja semaunya mereka memisahkan Papua dari NKRI untuk memudahkan pengusaan aset orang Papua. Mari memberi didikan yang baik bagi rakyat kami, dan bukan mengadudomba rakyat Papua demi kepentingan investasi semata. Semoga.

Melepas Anak Kenegeri Orang

MUNGKIN Anda sedang bingung imtuk melepas anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Di satu sisi, ingin memberikan pendidikan terbaik kepada anak, di sisi lain rasa cemas dan khawatir menghantui. Namun, haruskah peluang itu terganjal hanya oleh rasa cemas?

SEPERTI diakui Ny. Ida Zuhida, pengusaha yang aktif ini mengaku, saat anaknya yang duduk di kelas 2 SMA memutuskan ikut seleksi pertukaran pelajar Indonesia - Amerika melalui program AFS, ia selaku orang tua langsung memberikan kepercayaan penuh kepadanya. Pasalnya, kata Ida, anak itu memang sudah terlatih mandiri sejak kecil. Ia terbiasa .pergi-sekolah naik angkutanumum sendiri pukul 5.15 dari rumah ke sekolahnya di SMPN 5 hingga SMA 3. Pulang malam juga biasa karena harus mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan formal, seperti les bahasa Inggris, musik, dan ekskul di sekolah. Namun, perasaan haru biru dan gembira justru mencuat saat sang putri terpilih menjadi siswa pertukaran pelajar yang dikirim ke Oregon, Amerika Serikat.

"Malah saya berubah menjadi agak tegang. Masalahnya temyata dia tidak boleh membawa alat komunikasi handphone. Tujuannya mungkin agar anak benar-benar mandiri dan jauh dari intervensi keluarganya. Jadi kami sekeluarga hanya boleh menunggu kabar darinya dan menelefon sesuai perjanjian dengan keluarga barunya di sana," ujar Ida kepada "RR".

Namun, Ida dan suaminya percaya, di mana pun bumi dipijak, Allah SWT akan menjadi pelindung terbaik bagi siapa pun. Hal senada disampaikan Ketua Yayasan LJBPP Lia Buah Batu Aliet Sojariah Fahmi. Bulan Juni mendatang, ibu empat anak ini harus melepas dua anak gadisnya ke Prancis dan Jerman. Pasalnya, putri ketiganya memang mengambil kuliah dual degree yang mengharuskan mahasiswanya mengambil mata kuliah di negara asal. Sementara itu, anak keduanya memperoleh funding dari satu lembaga untuk melanjutkan S-2 di Jerman setelah ia memperoleh gelar lulus sarjana arsitektur di kampusnya.

Dalam mempersiapkan keberangkatan kedua putrinya, Aliet mengaku akan mengajak kedua anaknya umrah terlebih dahulu. Seperti saat ia akan melepas putra pertamanya melanjutkan S 2 di Australia. "Dengan mengajak umrah ini sayai-nginmembekali mereka bahwa ftieskipun saya dan suami tidak ada atau berjauhan dengan mereka, tetapi Allah SWT akan senantiasa ada untuk mereka," ujarnya.

Aliet mengaku, dia tidak terlalu cemas dibandingkan saat akan melepas anak laki-lakinya. Selain kedua anak perempuannya sangat dekat dengan agama, mereka juga termasuk anak-anak yang sudah siap secara mental. Sebab, jauh sebelum anak-anak memasuki saatnya jauh dari orang tua, Aliet yang lulusan Fakultas Psikologi Unisba ini selalu menanamkan keseimbangan IQ, EQ, dan SQ kepada anak-anaknya.

Kendati begitu, Aliet menggarisbawahi tiga hal penting bila orang tua akan mendorong anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Pertama, sikap dan mental anak sudah siap. Artinya, anak tidak akan terkontaminasi budaya-budaya buruk setempat Akan tetapi sebaliknya dapat menyerap budaya baik sehingga memberikan perubahan cara berpikir, bertindak, dan bersikap. Kedua, secara finansial juga siap. Ketiga, kemampuan intelektual anak memadai.

Sebaiknya setelah S-1

Sementara itu, psikolog dari Fakultas Psikologi Unisba Dra. Dewi Sartika Akbar, MSi., Psi. mengatakan, penanganan anak yang akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri berbeda-beda. Sesuai dengan latar pendidikan sebelumnya dan pendidikan lanjutan yang akan diambil. Dewi menyarankan, melanjutkan pendidikan di luar negeri sebaiknya untuk lulusan S-i yang akan melanjutkan pendidikan ke S-2. Mengingat lulusan SMA di Indonesia pada umumnya belum siap secara mental, kemandirian, dan kedewasaannya.

"Kalau dipaksakan akan jauh lebih repot dibandingkan dengan orang yang akan melanjutkan pendidikan setingkat S-2. Karena anak-anak lulusan SMA di Indonesia ketergantungannya terhadap orang tua masih sangat tinggi. Berbeda dengan anak-anak remaja asing yang sejak high school pun sudah dilepas orang tuanya," ujar Dewi.

Persiapan yang dapat dilakukan menurut Dewi antara lain adalah siap secara in-telegensia. Artinya, orang tersebut sebaiknya melakukan pemeriksaan tes IQ terlebih dahulu. Hasil tes tersebut akan memberi gambaran kecocokan dengan perguruan tinggi yang akan dipilih. Langkah berikutnya adalah menyiapkan mental dan kepribadian anak dalam kemandirian dan penyesuaian diri. Informasi tersebut dapat diperoleh dari dialog pembahasan hasil tes IQ.

Tes kemampuan lain yang harus dilakukan adalah tes kemampuan dalam menyesuaikan diri. Hasil tes dapat memperlihatkan apakah anak tersebut termasuk kategori mudah menyesuaikan diri dan gaul,atau sebaliknya.
"Bila temyata anak kita termasuk kategori sulit bergaul, orang tua mau tidak mau harus intensif menjaga hubungan dengan anak. Sebab, anak seperti itu akan mengalami kesulitan pada saat harus beradaptasi," ujar dia.

Oleh karena itu, Dewi mengingatkan, keinginan melanjutkan pendidikan keluar negeri idealnya merupakan keinginan semua pihak. Baik orang tua, anak, maupun keluarga secara keseluruhan. Apabila kelak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan lebih mudah penanganannya.

Sisi lain yang harus dipersiapkan adalah tes hasil akademik. Untuk memperoleh informasi yang akurat, orang tua sebaiknya berkonsultasi dengan guru di sekolah. Menanyakan bagaimana pergaulannya dengan teman-teman, apakah pada saat anak tersebut mendapat kesulitan cenderung mudah mencari jalan keluar atau sebaliknya. Konsultasi ini penting mengingat di luar negeri nanti, dituntut penyesuaian diri yang cukup besar.

Selain itu, orang tua juga harus menyiapkan mental, moral, dan etika. Semua ini kata Dewi, tidak dilakukan dalam tempo sekaligus, tetapi selama anak itu dipersiapkan akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. "Rumah sebagai basic penanaman nilai-nilai, norma, agama, itu nantinya akan sangat tampak. Begitu juga motivasi yang mendasarinya. Kalau cuma untuk mengejar gengsi atau kebanyakan uang, hasil yang diperoleh akan berbeda dengan orang yang memang tujuannya untuk belajar," ujar Dewi.

Ibadah bijak

Walaupun anaknya sudah mandiri, Ida mengaku, rasa khawatir tetap besar. Kendati begitu, ia dan suaminya tidak menunjukkan kecemasan itu di depan anaknya.

Ia mengatakan, walaupun anaknya jauh, ia tetap dalam jangkauannya. Suatu ketika, anaknya diminta berbicara tentang Islam, mewakili masjid di Oregon. Saat itu India baru diserang teroris (2008) dan semua pemuka agama diminta mewakili agama masing-masing untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, karena "us-taz" di masjid Oregon itu sedang tidak ada. putrinya yang harus menyampaikan segala sesuatu tentang Islam di hadapan para pemuka agama lain yang sudah tentu amat senior. "Untuk itu dia berdiskusi melalui pos-el dengan ayahnya, meminta pendapat apa yang sebaiknya ia bicarakan di sana. Bayangkan anak SMA berbicara di hadapan semua pemuka agamasenior," ujar Ida.

Diajuga tidak tergoda minuman keras, pergaulan bebas yang lazim dilakukan teman-temannya di sana. Intinya, kata Ida, kemandirian yang berlandaskan agama perlu dipersiapkan bagi anak-anak yang akan dilepas ke negara jauh.

Lain lagi dengan Aliet, sebagai orang tua, ia tetap merasa kangen saat anaknya tidak ada. Namun dengan berbagai alat teknologi canggih, Aliet mengaku tidak merasa susah dalam menjalin komunikasi dengan anaknya saat kuliah di Australia. Terlepas dari semua cara itu, Aliet menegaskan, komunikasi paling canggih adalah tali batin antara anak dan orang tua Di mana anak akan selalu ingat apa yang dikatakan orang tuanya, terutama ibu, dan apa yang dianjurkan oleh agamanya. Dengan landasan itu, Aliet yakin, anak akan tetap punya kendali bagi dirinya.

Wajar dan Kualitas Pendidikan Jadi Prioritas

Oleh MOHAMMAD NUH

Menteri Pendidikan Nasional

TERDAPAT dua prioritas program pendidikan yang menjadi target dalam rencana strategis (Renstra) 2010-2014 Kementerian Pendidikan Nasional Pertama adalah menyelesaikan program Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar) dan kedua, pe ningkatan kualitas pendidikan.

Program Wajardilakukanguname ningkatkan aksesibilitas anak didik jangan ada lagi saudara-saudara dan anak-anak lau yang tidak terakses Wajar Jangan hanya karena perbedaan status osial sehingga mereka tidak bisa menikmati dunia pendidikan, apalagi perbedaan kewilayahan. Juga jangan membuat anak didik tidak bisa menikmati pendidikan.

Peningkatan kualitas pendidikan masih dititikberatkan pada relevansi pendidikan menengah, terutama menengah kejuruan, dan pendidikan tinggi kaitannya dengan dunia kerja. Program pendidikan yang mengarah ke dunia kerja menjadi prioritas untuk pendidikan kejuruan sehingga para lulusannya dapat langsung bekerja.

Kedua program itu hanya bagian dari prioritas program 100 Hari Kementerian Diknas Guna mencapai program 100 hari, tiga dari delapan program telah tercapai 100%, yakni penyediaan internet secara massal di sekolah, beasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) untuk siswa SMA. SMK MA berprestasi dan kurang mampu, serta penyusunan Renstra 2010- 2014. Pencapaian lima program lain rata-rata sudah berjalan di atas 50%, yang bila dipersentasekan, maka pencapaian kinerja Kementerian Pendidikan Nasional hingga akhir Desember 2009 laki telah mencapai 70%.

Program penyediaan internet secara massal di sekolah dari target 17.500 sekolah telah tercapai 18.358 sekolah. Dari 33 provinsi, terdapat dua provinsi yang belum mendapatkan tambahan koneksi internet karena keterbatasan infrastruktur pendu-kung, yaitu Provinsi Maluku Utara dan Papua Barat Kementerian Diknas juga akan memasukkan tambahan koneksi internet dalam program khusus, tidak masuk dalam program 100 hari karena memang ketersediaan infrastruktur pendukungnya relatif terbatas.

Program lain yang telah selesai adalah beasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) untuk siswa SMA SMK/MA berprestasi dan kurang mampu bagi 20 000 orang Kementerian Diknas juga telah selesai menyusun dokumen Rencana Strategis 2009-2014 0

Korupsi Pendidikan Pendidikan Antikorupsi

MESKI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan agar peringatan Hari Antikorupsi sedunia. Rabu (9/12), tidak dijadikan upaya menjatuhkan dirinya, berbagai pemangku kepentingan antikorupsi tetap akan menggelar perhelatan akbar untuk memperingatinya. Kontroversi seputar pernyataan SBY tersebut mendapat sorotan berbagai pihak. Terlepas pro dan kontra atas pernyataan SBY, publik sebenarnya menginginkan upaya pemberantasan korupsi ini secara komprehensif, transparan, akuntabel, sehingga secara signifikan semakin berkurang para aktor, mediator, dan para "cukong" di balik kasus-kasus korupsi.

Fenomena korupsi telah meruntuhkan altar demokrasi kita. Bahkan, korupsi menjadi endemik menjalar ke berbagai pilar negara termasuk dunia pendidikan. Menurut Kesuma, Darmawan dan Permana (2008), di lembaga-lembaga pendidikan, korupsi dapat terjadi misalnya pembelian/penyuapan untuk memperoleh kenaikan kelas, atau memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bagus (prasekolah, SD, SMP/SMA, universitas). Juga penggelapan akademis seperti penjualan soal ujian, penjualan/pembelian nilai hasil ujian dan ijazah dan gelar-gelar akademik. Tipe lainnya adalah uang sekolah tambahan (untuk pengajaran di sore

hari atau ketika libur), pengurangan lingkungan pengajaran (anak-anak dimanfaatkan sebagai tenaga kerja gratis untuk keuntungan guru), dan pengadaan berbagai projek bangunan yang acap tanpa tender yang jelas.

Terdapat sejumlah persoalan menyangkut dampak korupsi terhadap dunia pendidikan. Pertama, merosotnya kualitas pendidikan. Korupsi mengakibatkan tidak adanya atau rendahnya kualitas sarana, prasarana, dan media pendidikan, serta mutu pendidik dan lulusan yang rendah. Padahal rendahnya kualitas dalam sistem pendidikan dari suatu negara dapat menyebabkan generasi mudanya mencari peluang pendidikan yang lebih baik di negara lain (capitalflight, modal ke mancanegara).

Kedua, terjadinya ketimpangan sosial (.social gap). Korupsi meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang miskin dan marginal mengenyam pendidikan. Akibat korupsi, pendidikan (yang korup) akan melahirkan genera-si-generasi yang korup juga. Generasi korup melahirkan juga pendidikan dan pemerintah yang korup. Negara kalah bersaing dari negara lain sehingga pada gilirannya menjadi negara yang lemah. Akibat lainnya, kurangnya angkatan kerja yang terdidik, yang menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi. Besarnya jumlah penduduk yang tidak terdidik berdampak kepada investasi.

Ketiga, tercerabutnya moralitas akhlak mulia. Korupsi sudah mengubah persepsi publik. Kejujuran semakin sulk ditemukan dan dihargai. Justru orang-orang yang jujur tidak diapresiasi dalam dunia pendidikan yang penuh ketidakjujuran. Kasus nilai Ujian Nasional (UN) hasil menyontek lebih dihargai daripada nilai hasil kejujuran.

Seiring dengan isu antikorupsi yang semakin kencang disuarakan berbagai elemen masyarakat, sebenarma apa yang sejatinya diperbuat oleh bangsa ini untuk memberantas korupsi melalui penyadaran publik. Kata kuncinya, tidak lain melalui pendidikan. Pendidikan antikorupsi semestinya melahirkan pioner-pioner anak bangsa sebagai agen pelawan koruptor. Persoalannya, bagaimana rancang bangun pendidikan antikorupsi itu didesain dan dikemas menjadi pendidikan yang mengakselerasi gerakan antikorupsi antargenerasi.

Pendidikan antikorupsi memiliki peran ganda atas penanganan korupsi. Selain sebagai salah satu pencegah nilai-nilai dan moral buruk korupsi, pendidikan antikorupsi pun harus melatih peserta didik agar selalu menyuarakan nurani publik menghadapi fenomena dan kasus korupsi. Sebab, koruptor sesungguhnya memiliki moralitas mempertiihankan uang seperti ungkapan ...greed is good, money b God" (...rakus itu bagus, uang adalah Tuhan). Korupsi pun ditengarai Dr. Ramiro Larrea Santos dari Equador disebabkan oleh kegagalan nilai-nilai etika, kebodohan, dan tidak adanya transparansi (ethical values, illiteracy, and a non-transparent).

Dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan gerakan pendidikan antikorupsi dalam lingkup sekolah maupun masyarakat. Pendidikan antikorupsi selayaknya bukanlah mata pelajaran tersendiri, melainkan sejumlah nilai, moral, norma antikorupsi yang harus menjadi roh dan substansi pada setiap mata pelajaran/mata kuliah di perse-kolahan/perguruan tinggi. Bahkan kurikulum pendidikan yang selama ini diajarkan semestinya bermuatan nilai antikorupsi. Artinya pembelajaran apa pun tidak cukup hanya mengandalkan aspek kognisi melainkan diisi substansi ranah afeksi yang dapat mengantarkan peserta didik menjadi sosok yang cerdas nuraninya. Dengan demikian pendidikan antikorupsi lebih merupakan jiwa, semangat, dan tekad para pemangku kepentingan di lingkungan pendidikan untuk memberikan teladan yang baik kepada anak didiknya.

Semoga peringatan Hari Antikorupsi sedunia kali ini, menyadarkan kita semua bahwa perbuatan korupsi sekecil apa pun, akan berdampak negatif kepada kehidupan bangsa. Mulailah dari sekarang hindari korupsi dan jadikan korupsi sebagai bahaya laten bagi bangsa ini.***

Pendidikan Seks di Sekolah:Haram?

Ramainya "lounching" video seks orang mirip artis, rupanya mengusik banyak kalangan. Banyak pihak khawatir akan akibat buruk yang muncul. Salah satunya adalah pengaruhnya terhadap anak-anak. Oleh sebab itu, ada yang mengusulkan agar diberikan pendidikan seks secara dini. Pendidikan seks itu sebaiknya diberikan di sekolah karena sekolah tempat paling representatif dan terkontrol untuk melakukannya.

Namun, pendapat itu langsung mendapat sanggahan dari salah satu petinggi pendidikan di negeri ini. Konon, pendidikan seks tidak perlu diberikan di sekolah. Menurutnya, seks itu alami dan tumbuh tanpa harus diajarkan (Antara News,9/6/2010).

Menarik kiranya pernyataan petinggi tersebut. Bahwa seks itu alami dan tumbuh sendiri, mungkin benar adanya. Namun, ibarat pohon, pemahaman itu perlu dirawat supaya tumbuh subur dan tumbuh dengan baik. Cabangnya perlu dipotong bila perlu agar tidak menjalar ke mana-mana.Demikian pula seks, bila dibiarkan berkembang tanpa arahan, bukan tidak mungkin akan menjadi "seks liar" seperti yang muncul belakangan.

Loh, meski demikian tetap saja seks tidak perlu diberikan ruang khusus dalam pelajaran di sekolah. Toh ada agama yang memberi banyak batasan, mungkin begitu sanggahan selanjutnya. Hanya saja, benarkah agama "telah" mampu menjadi instrumen untuk mengendalikan alur seks yang liar itu? Rasanya terlalu dini untuk membenarkannya, selagi fakta terpapar seperti yang terlihat sekarang.

Mungkin, orang tua harus lebih banyak berperan dalam hal ini. Hanya saja, tak semua orang tua bisa menjelaskan dan mengarahkan dengan baik soal ini. Meski mereka sudah banyak merasakan asam garam seksualitas, tapi belum tentu menjamin bisa menjelaskan kepada orang lain dengan mudah.

Saya Aborsi Sendiri

Ketika Segelintir Pelajar Tanjungpinang Menjajakan Diri


Prostitusi bawah umur dan memperdagangkan keperawanan merebak di Tanjungpinang. Sebuah riset menunjukkan sebagian remaja putri di ibu kota Provinsi Kepri itu pernah melakukan hubungan intim.




Oleh Yuliana Dewi




NL, 16 tahun, adalah gadis ceria. Ia cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Warna-warna cerah yang jadi pilihannya dalam berpakaian, setidaknya menggambarkan karakter asli gadis berambut kriwil, mirip Slash, gitaris grup musik populer awal 1990-an, Guns N' Roses. Keceriaan yang sudah jadi bawaan lahir itu pula, yang membuat NL seolah tak sedang dirundung masalah. Padahal, baru sepekan lalu, siswa kelas 3 SMP di Tanjungpinang ini menggugurkan kandungannya.

"Saya baik-baik saja," katanya, sembari mengulum senyum. Tanpa beban.

"Saya aborsi sendiri. Tak ada bantuan orang lain," ia menambahkan.

NL mengungkapkan, ia sengaja membunuh orok yang baru sebulan bersemayam dalam rahimnya itu, karena tak tahu siapa yang menyemainya.

Takut kehamilannya bakal membuat gempar keluarga, NL putar otak mencari siasat. Ia emoh merapat ke tempat praktik dokter kandungan atau dukun beranak. Sebab jejak aborsinya bisa diendus. Ia menganalisa, berdasarkan pengalaman, jika haid tak lancar, maka dengan meminum tablet tertentu, darah dari rahim bakal mengalir deras. "Tak ada yang memberi tahu obat itu. Cuma perkiraan saya saja, coba-coba. Eh, berhasil," ujarnya.

NL bisa bebas melakukan aktivitas di luar kapasitas remaja seusianya karena ia tinggal terpisah dari keluarga. Dengan alasan agar lebih dekat ke sekolah, ia bisa meyakinkan orang tua untuk tinggal di rumah kos. Di rumah barunya itu, NL tak sendiri, ada empat remaja putri lain seusia juga tinggal di sana dan menempuh jalan hidup yang sama. Di sinilah mereka memulai episode baru hidup mereka: pelajar merangkap pelacur.

Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

KABINET Indonesia Jilid II telah melewati 100 hari kerja. Dan. Prof Dr Muhammad Nuh yang ditunjuk sebagai nakhoda Departemen Pendidikan Nasional (Mendiknas) tampak makin mantap melangkah memperbaiki dunia pendidikan Indonesia.

Tendensi kebijakan pendidikan lima tahun ke depan dlarahkannya untuk berorientasi pada kebutuhan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat proses demokratisasi, serta berkeadilan sehingga bangsa ini ke depan akan menjadi lebih baik.

Hanya saja, langkah sang Mendiknas baru itu tampak banyak menghadapi tantangan dan kendala. Hal berikut ini pun perlu direnungkannya. Bahwa sungguh ironis memang, di saat semua kebutuhan hidup melambung tinggi, seluruh warga Indonesia mengalami mahalnya biaya pendidikan, baik dari yang paling rendah seperti kelompok bermain (play group! sampai perguruan

tinggi semua mematok harga yang saiastis. Pendidikan dijadikan sebagai lahan uni.uk mengeruk keuntungan. Janji pendidikan gratis pun tampak semu. Padahal, tak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan Jaminan untuk dapat hidup dan berinteraksi dalam percaturan global. Dan Juga untuk meningkalkan masa depan bangsa. Para orang tua pun banyak yang sadar akan hal itu.

Karenanya, banyak orang tua yang berusaha semaksimal mungkin menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah terbaik agar mendapatkan pendidikan yang baik. Ku bagi yang mampu (beFpu-nya). Bagaimana dengan yang tidak berpunya?

Di sisi lain, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang masih di bawah standar, maka hal itu menjadi pemikiran pemerintah untuk mengatasinya. Apalagi, dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menyatakan, Setiap warga negara wqjil) mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Dalam hal mahalnya pendidikan, pemerintah perlu memberikan bantuannya di dalam penyelenggaraan pendidikan ini, karena kalau tidak, sama saja dengan melakukan tindakan penyelewengan. Masyarakat tentu saja tidak boleh ber-pangku tangan. Ini mengacu pada UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 46 yang mengatakan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama pemerintah. pemerintah daerah dan masyarakat.

Hal ini berarti, sumber pendanaan sekolah dan biaya pendidikan yang setiap tahun mengalami kenaikan signifikan, harus menjadi pemikiran kita bersama. Kendala lain, visi pendidikan seringkali kabur ataupun dikaburkan oleh birokrasi. Sektor pendidikan acapkali dijadikan lahan bisnis untuk mencari keuntungan. Padahal, pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tonggak masa depan bangsa.

Mengingat itu, dengan mengacu pada UUD 1945 dan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sudah seharusnya pendidikan kita diletakkan pada landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem pelayanan pendidikan sehingga ke depannya produk pendidikan akan menjadi pilar-pilar kekuatan untuk membangun masa depan bangsa ini.

Apalagi mengingat, sampai saal ini pembangunan pendidikan seperti Jalan di tempat, bahkan seperti kehilangan rohnya. Padahal, pendidikan yang baik dan benar merupakan syarat utama yang harus dikedepankan untuk kesejahte-
raan bangsa.

Hal itu mungkin karena pendidikan di Indonesia selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol birokrasi pengelola kebijakan pendidikan hanya salah satu bukli yang menunjukkan bahwa rcjor-masi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program.

Ke depan, kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan sebagai salah satu tonggak bagi masa depan bangsa, perlu dibuka.

Selain itu. untuk meningkalkan mutu pendidikan, tentunya pemerintah diharapkan tidak ragu-ragu dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan. Hal itu merupakan .salah satu faktor pendorong majunya pendidikan.

Memang, anggaran pendidikan di Indonesia sudah dipatok 20% pada APBN 2009. Tapi, sebenarnya hal itu masih belum cukup untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia. Ini mengingat demikian luasnya wilayah Indonesia, sehingga menyebabkan pendidikan di level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih langka di daerah terpencil.

Mengingat itu. ke depan. Indonesia sebagai negara berkembang hendaknya juga memiliki manajemen pengembangan pendidikan yang baik. Indonesia dapat memulai dari meningkalkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia, mulai dari level pendidikan sekolah dasar sampai level perguruan tinggi.

Dengan demikian akan terbukalah akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik. Dengan menempuh pendidikan yang lebih baik, akan didapat banyak individu yang berkualitas baik pula di negeri ini. Bagi masa depan negara, implikasinya juga akan lebih baik tentunya. Semoga! (Penulis adalah Sekretaris Rektor Universitas PGRI Yogyakarta, pengelola Pascasarjana UPY)

Pendidikan Kaum Marjinal

Pendidikan Indonesia dewasa ini menjadi lebih dinamis. Hal ini disebabkan oleh perubahan sosial dalam tatanannya, seperti yang diungkapkan Gyford (2007) perubahan sosial bisa terjadi karena konflik sosial, struktur masyarakat, perkembangan produksi teknologi, politik, budaya, modernisasi, dan westernisasi.
Dalam kelanjutannya perubahan sosial akan berdampak terhadap tatanan pendidikan dan sistem pendidikan lainnya. Dampak perubahan itu tidak selalu negatif namun juga positif bagi dunia pendidikan. Kemungkinan positif yang terjadi adalah perubahan sosial itu menuntut kemampuan dalam melakukan perubahan terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Seperti halnya pendidikan alternatif yang secara fenomenal tumbuh menjamur hampir disetiap provinsi, khususnya di pulau jawa.

Singkat cerita pernah suatu waktu saya “ngobrol” dengan pengamen jalanan dengan umur sekitar 13-an, saya ingin tahu apa persepsi dia tentang sekolah pada umumnya (sekolah formal). Jawaban anak itu membuat saya mengernyitkan dahi sambil berpikir, “sekolah cuma ngabisin duit, gw gak bisa makan kalo sekolah. Apalagi sekolah tuh capek bikin PR mulu, mending gw ngamen dan bisa makan” ungkapnya. Perjalanan kehidupan yang dijalani anak itu mungkin tidak seberuntung saya, bisa jadi pendidikan formal tidak “berpihak” pada anak itu dan anak – anak lainnya yang bernasib sama. Terlebih lagi paradigma yang terus melekat pada masyarakat level bawah bahwa sekolah formal itu hanya untuk orang mampu, sekolah formal itu tidak menyenangkan, dan sekolah formal itu sia – sia. Lantas pendidikan seperti apa yang tepat bagi mereka? Bagi masyarakat marjinal, terpencil, miskin, dan kurang beruntung harus ada penawaran pendidikan dengan formulasi yang khusus dan tepat bagi mereka dan juga berbeda dengan pendidikan formal. Begitu juga bagi masyarakat akibat korban modernisasi dan westernisasi yang ditandai dengan renggangnya hubungan antar manusia karena keterasingan masing - masing.

Para pengambil kebijakan belum mengipaskan angin surga bagi kaum marjinal, alih – alih mereka “mandul” padahal memang harus serius dibicarakan. Para pengambil kebijakan lebih berorientasi pada pendidikan anak-anak kelas menengah ke atas. Mungkin terlalu sibuk dengan proyek - proyek sekolah internasional yang standar ekonominya selangit daripada serius memperjuangkan hak kalangan bawah untuk memperoleh pendidikan. Orang - orang miskin yang tereliminasi dari sekolah formal justru di anak tirikan dan tidak memperoleh dukungan finansial yang sama dari negara, sekalipun mereka masih dalam usia wajib belajar. Sekalipun jika pendidikan digratiskan secara menyeluruh dan utuh, maka dalam praktiknya tidak berlaku lagi sistem “menunggu bola”, harus ada suatu sistem “menjemput bola” bagi anak – anak yang sudah terlanjur terjun di gelapnya dunia jalanan. Hingga tulisan ini dibuat pendidikan gratis baru bisa dinikmati sebagian lapisan masyarakat saja.

Pendidikan alternatif menjadi jawaban atas ketidak jelasan birokrat dalam memperjuangkan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum marjinal. Model pendidikan alternatif pada dasarnya pemberdayaan si pembelajar dengan cara - cara yang berbeda dengan mainstream (sekolah pada umumnya). Subtansinya memiliki kesamaan secara universal, yaitu pendekatannya lebih bersifat pengembangan potensi individual, memberikan perhatian yang lebih besar pada peserta didik, dan pendidik, serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Pendidikan alternatif ditujukan pada pemenuhan kebutuhan belajar peserta didik masing - masing sesuai dengan minatnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Dalam prosesnya peserta didik dapat melaksanakan ativitas pembelajaran, tanpa menghentikan atau meninggalkan aktivitas kehidupan sehari - hari.

Dra. Utsman, M.Pd. dosen PLS UNNES berpendapat, pendidikan alternatif bagi kaum marjinal ini harus didesain untuk mengembangkan tekad anak keluar dari belenggu kemiskinan, memahami sejarah yang membuat mereka miskin, dan mengembangkan kesadaran tentang ada cara yang baik bagi mereka untuk keluar dari kemiskinannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, pendidikan untuk kaum miskin tidak didesain sekadar mengajarkan teknis membaca dan menulis, namun dengan memberikan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk mampu bangkt dari belenggu kemiskinan.

Masyarakat marjinal, seperti anak jalanan, kelompok miskin, masyarakat adat, serta mereka yang memiliki kemampuan berbeda, jika diberikan layanan pendidikan yang didesain secara khusus serta dikelola secara serius dipastikan kurang lebih akan dapat menyamai kualitas pendidikan mainstream yang hanya sekedar ”mendewakan” ijazah. Mereka memang tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti formula pendidikan mainstream karena keterbatasan yang mereka alami. Oleh karena itu pendidikan alternatif seperti pendidikan kesetaraan, pendidikan anak rimba, pendidikan untuk anak jalanan, pendidikan dengan home visit education perlu dikembangkan di masyarakat.

Penulis berharap nilai – nilai dan semangat pendidikan yang dibangun pendidikan alternatif dapat merubah kondisi pendidikan di Indonesia. Memang tidak cukup rasanya jika hanya bicara, namun mudah – mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan kita bersama. HIDUP MAHASISWA !!! HIDUP PENDIDIKAN !!! HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!

*sumber : dari berbagai sumber

Kembangkan Sekolah Anak Marginal

PEKANBARU, METRORIAU.COM - Kabupaten/kota diharapkan turut berpartisipasi dalam mengembangkan program pendidikan anak marginal di daerah masing-masing. Sebab, program ini bagian dari upaya untuk penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun.

Harapan itu disampaikan Pembantu Pengelola Administrasi Kegiatan (PPAK) program pendidikan siswa marginal Bidang Sekolah Dasar dan Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Riau, Samira. Menurutnya, selama ini pengembangan pendidikan anak daerah marginal (daerah pedalama,red) masih dibiayai oleh Pemprov Riau. "Mulai dari biaya operasional, penyediaan bahan ajar, sarana dan prasarana pendukung serta honor tenaga pendidik murni dibiayai APBD Riau," ujar Samira.

Lebih lanjut, Samira menyebutkan, tahun ini jumlah siswa pendidikan anak marginal tingkat SD dan SMP sebanyak 1.487 orang. Mereka ini tersebar dalam 77 kelompok belajar (Pokja) se-kabupaten/kota, kecuali Bengkalis dan Dumai.
Katanya, dari 10 kabupaten/kota se-Riau, Indragiri Hulu (Inhu) merupakan kabupaten yang terbanyak, yakni 513 siswa dengan 18 Pokja.

"Untuk pengajar siswa marjinal ini dikenal dengan istilah guru huni, yang diambil dari orang tempatan. Dalam artian, mereka yang mengajar di sekolah ini atas keinginan sendiri," ujarnya.

Samira mengakui masing-masing guru huni ini diberikan bantuan dari Disdik Riau sebesar Rp 800 ribu perbulan. "Tahun ini, kita memberi bantuan sebesar Rp 800 ribu perbulan terhadap guru huni yang jumlahnya sebanyak 210 orang se-Riau," paparnya.

Kedepan, terang Samira, pihaknya menargetkan agar pendidikan anak marjinal ini setiap tahun menurun. "Bila perlu nantinya, tidak ada lagi program ini, seperti di kawasan Bengkalis dan Dumai. Sebab dengan tidak adanya program ini di dua kawasan itu, menunjukkan tidak ada lagi keluarga tidak mampu yang anaknya tidak bersekolah," ucapnya. (vivi)

Melihat Sekolah Marjinal Orang Sakai di Minas

Waktu adalah sang penanda yang setia. Dan manusia yang menyaksikan niscaya takkan bisa memungkirinya. Meski sudah akan 64 tahun merdeka, eranya otonomi daerah dan ‘dikepung’ perusahaan raksasa bahkan multinasional, nyatanya taraf kehidupan orang Sakai hingga kini tak jauh berbeda. Padahal, sejatinya mereka adalah ‘orang lama’ di Tanah Melayu bahkan diberi label suku asli. Namun berpuluh-puluh tahun jualah mereka tetap hidup dalam lilitan kemiskinan. Mereka tetap tinggal di rumah-rumah dari kulit kayu yang beratap rumbia. Bahkan untuk sekolah saja, mereka masih belajar di bawah pohon. Padahal, institusi akademik inilah salah satu upaya untuk membuka cakrawala berpikir mereka hingga bisa lepas dari himpitan ekonomi.


Oleh Purnimasari


Salah satu bukti pembangunan belum berpihak membela nasib mereka adalah kondisi sekolah yang sungguh memprihatinkan. Sabtu (31/1), Riau Pos sempat berkunjung ke SD Marjinal 011 Desa Minas Asal Kelurahan Minas Barat, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. Sekolah ini terletak kurang lebih 30 Km dari Simpang Pompa Bersejarah di Km 34 Minas. Lokasi ini dinamakan pompa bersejarah karena di tempat itulah pompa angguk (untuk mengambil minyak bumi) pertama kali ditemukan.

Jika dari arah Pekanbaru, melalui jalan lintas Pekanbaru-Dumai, di Simpang Pompa Bersejarah itu, kita harus belok ke kanan, menuju arah barat. Setelah itu kita akan melewati jalan aspal milik PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) dan pipa-pipa minyak. Setelah jalan milik CPI berakhir, kita melintasi jalan sirtu (pasir dan batu) dalam areal hutan tanaman industri (HTI) milik PT Arara Abadi. Meski cuma berjarak 30 Km dari jalan lintas, perjalanan bisa memakan waktu kurang lebih satu jam karena kondisi jalan tak begitu baik. Hujan yang turun dari malam hingga pagi ikut menambah kondisi jalan makin tak bersahabat. Beberapa cekungan berisi air kerap ditemui. Apalagi ketika jalan sirtu berakhir dan digantikan jalan tanah. Jalannya pun cukup sepi. Sesekali kami cuma berpapasan dengan mobil double gardan milik perusahaan dan truk-truk balak pengangkut kayu HTI.

Untuk mencapai sekolah marjinal itu, kami mengandalkan Pak Firman sebagai navigator. Ia adalah salah seorang guru di SD 011 Minas Barat, SD yang menjadi sekolah induk bagi SD Marjinal di Desa Minas Asal tersebut. Setelah areal HTI berakhir, pemandangan berganti dengan semak belukar, rumah-rumah orang Sakai dan kebun sawit.

Sekolah Rubuh Kena Angin
SD Marjinal 011 berada di tepi sebelah kanan jalan tanah. Bangunannya sangat sederhana. Cuma dua buah ruangan berdinding papan, berlantai tanah pasir berukuran dua kali tiga meter. Karena itu, murid-murid tak bisa terlalu lasak di dalam kelas, karena niscaya akan ‘makan’ debu yang beterbangan. Dua buah bagian dindingnya dibiarkan terbuka setengah sebagai ventilasi. Kedua tempat masuk yang bersisian dibiarkan tak berpintu.

Di dalam ruangan yang disebut kelas ini, dibuatkan meja dan bangku panjang dari kayu sebagai tempat murid belajar. Sebenarnya, bangunan sekolah ini hampir mirip dengan kedai-kedai kopi yang banyak di kampung-kampung. Di halaman sekolah yang tak terlalu luas, ada sebuah tiang bendera, lengkap dengan bendera merah putih nan berkibar yang biasa digunakan untuk upacara tiap Senin.

‘’Beginilah kondisi sekolah kami. Ruangan kelasnya cuma ada dua. Tak cukup untuk menampung anak-anak ini belajar,’’ ujar salah seorang guru SD Marjinal 011, Don Hefrimon. Saat ini, lanjutnya, jumlah murid yang aktif bersekolah mencapai 59 orang. Jumlah sebenarnya ada sekitar 80 murid. Tapi sisanya banyak yang tidak aktif lagi datang ke sekolah.

‘’Karena kelas tak muat, kami terpaksa belajar di bawah-bawah pohon di sekitar sekolah, duduk lesehan di tanah. Kalau hari sudah agak siang, kami kepanasan, kalau hari hujan, kami lari ke sekolah atau ke rumah-rumah penduduk yang terdekat,’’ tutur pria yang akrab disapa Pak Idon ini. Tak jarang, anak-anak harus belajar di bawah batang sawit yang banyak terdapat di sekitar sekolah.

Meski memiriskan, kondisi sekolah sekarang menurut Pak Idon justru sudah agak ‘lumayan’. Sebelumnya, anak-anak ini belajar dengan menumpang di rumah kepala desa. Jaraknya sekitar 200 meter dari banguan sekolah yang sekarang. Setelah dari rumah kepala desa, ketika mula berdiri empat tahun silam, bangunan sekolah masih sangat memprihatinkan. Cuma bangunan darurat dengan dinding kulit kayu dan atap seadanya. ‘’Banguan sekolah yang pertama sudah rubuh, tumbang karena angin kencang. Baru dua tahun yang lalu, bangunan sekolah diganti dengan yang ada sekarang,’’ kata Pak Idon.

‘’Ketika itu, mantan Wakil Gubernur Riau Pak Wan Abu Bakar sampai berkunjung ke sekolah ini. Dia membantu sebesar Rp5 juta. Dengan uang itulah dan swadaya masyarakat setempat, bangunan sekolah ini kemudian bisa didirikan,’’ kenang cikgu yang sudah empat tahun mengajar di sekolah tersebut.

Saat ini, SD Marjinal 011 memiliki empat orang guru, semuanya lelaki. Selain Don Hefrimon, mereka adalah Sondra A Sukmanda, Afrizal Chandra dan Carmad. Don Hefrimon sendiri adalah guru pertama di sekolah ini. Karena jumlah murid kian bertambah, ia pun kemudian mengajak rekan-rekannya yang lain.

Generasi Buta Huruf
Apa motivasi Pak Idon hingga mau mengajar di tempat terpencil seperti ini? ‘’Saya ingin berbagi ilmu dengan anak-anak ini. Kalau tak ada sekolah, mereka takkan pernah maju. Orangtua, kakek nenek dan buyut-buyut mereka semuanya buta huruf. Baru generasi mereka inilah yang bisa membaca. Jika tetap tak ada pendidikan, mau jadi apa anak-anak ini nanti,’’ jawab Pak Idon.

Sayangnya, hingga kini, kata Pak Idon, perhatian pemerintah pada guru di sekolah marjinal masih sangat memprihatinkan. Setakat ini, mereka hanya menerima gaji sebesar Rp800 ribu per bulan dari Program Pendidikan Sekolah Marjinal yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Jika guru sekolah marjinal di daerah lain ada yang mendapat tunjangan transportasi dari pemerintah kabupaten/kota setempat, Don dan rekan-rekannya hingga kini belum pernah merasakan itu.

Dengan uang Rp800 ribu sebulan dan biaya hidup saat ini, tentu berat bagi para guru di sana. Apalagi jika sudah punya tanggungan seperti anak dan istri. ‘’Untungnya anak saya baru satu. Istri pun bekerja sebagai bidan. Kalau hanya mengandalkan gaji saya, tentu sungguh payah kami hidup,’’ ujar pria berusia 33 tahun ini.

Sudahlah gaji kecil, lanjut Don, pemberiannya pun dirapel tiap tiga bulan sekali. ‘’Untuk mengambil gaji, kami harus menjemput ke Siak. Ongkos pulang pergi dan makan di jalan, sudah habis pula uang Rp200 ribu. Untuk mengambil gaji saja, habis pula waktu sehari,’’ ungkapnya.

Karena itu, ia dan rekan-rekannya berharap, gaji mereka bisa diberikan tiap bulan. Dan sebaiknya gaji itu dititipkan saja di Kacab Minas sehingga mereka tak perlu terlalu jauh untuk mengambilnya. Saat ini, baru Don dan Sondra yang tinggal di rumah dinas guru yang berjarak kurang lebih 500 meter dari sekolah. Tetapi, karena jauhnya lokasi sekolah, guru-guru yang lain biasanya juga mandah dan menumpang di rumah mereka. ‘’Kalau perempuan mungkin tak sanggup mengajar di sini,’’ kata dia.

Sebelum mengajar di sekolah ini, Don mengaku sebelumnya ia hanya mengambil kursus-kursus setamat SMA. Sudah dua tahun ini, ia melanjutkan kuliah di FKIP Universitas Lancang Kuning Pekanbaru. Sebelumnya, ia mendapat bantuan biaya tugas belajar dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau sebesar Rp3 juta per semester. Tapi, sudah dua semester ini bantuan itu tak lagi ia terima.

Guru yang Cari Murid
Seperti diceritakan Pak Idon, di awal sekolah berdiri, guru dulu yang aktif mencari anak murid agar mau bersekolah. Pertama kali, 42 murid berhasil didapat. Setelah itu, sudah mulai banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah marjinal. Meski ada di antara mereka yang kemudian terus sekolah ataupun putus-putus. Umumnya anak putus sekolah karena dibawa bekerja oleh orangtuanya. Rata-rata orang Sakai kini masih bekerja sebagai petani dan nelayan.

‘’Sebenarnya animo orangtua menyekolahkan anak sekarang cukup tinggi. Tapi banyak di antara mereka yang kemudian tidak semangat karena melihat kondisi sekolah yang seperti ini. Bahkan ada yang akhirnya berhenti sekolah. Masa bangunan sekolah kayak kandang babi, begitu kata mereka. Padahal rata-rata sebuah keluarga punya anak banyak sehingga sebenarnya masih banyak anak yang belum bersekolah di sini,’’ beber Pak Idon. Dan perkataan ini dibenarkan oleh Ketua RT 1, Pak Khaidir. Menurut dia, saat ini, jumlah keluarga di RT 1 saja mencapai 500 KK.

Selain kondisi sekolah yang memprihatinkan, gaji guru yang masih dirapel, ketersediaan buku-buku juga menjadi masalah. Menurut Pak Idon, untuk buku-buku mereka masih harus memfotokopi atau meminjam ke sekolah induk. Meski ‘dikepung’ perusahaan multinasional yang mengeruk sumber daya Riau berpuluh-puluh tahun, Pak Idon mengaku perhatian dari perusahaan juga masih minim. ‘’Yang ada memberi bantuan baru Chevron. Itu pun hanya berupa tas sekolah,’’ katanya.

Menurut salah seorang murid kelas III, Budiman, ia dan teman-temannya senang bersekolah. Tapi kondisi bangunan sungguh tidak menunjang. ‘’Tolong lah Buk, diperbaiki sekolah kami ni. Kami senang belajar. Masa sampai sekarang kami masih belajar di bawah pohon,’’ ujar Budiman.

Usia Terlambat Masuk Sekolah
Dari data anak murid yang diberikan Pak Idon, 59 anak ini terbagi dalam empat kelas. Yakni kelas I, II, III dan V. Kelas IV untuk sementara ditiadakan karena muridnya hanya satu orang, yakni Budiman. Karena itu, meski seharusnya Budiman sekolah di kelas IV hingga kini ia terpaksa belajar di kelas III. Yang terbanyak adalah murid kelas I berjumlah 24 anak, disusul murid kelas V berjumlah 13 anak dan murid kelas II dan III masing-masing sebelas anak. Dari tanggal lahir mereka, dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak ini termasuk terlambat masuk sekolah. Sebanyak 14 orang dari 24 anak di kelas I tercatat sebagai kelahiran tahun 2000. Empat anak tercatat sebagai kelahiran 2001 dan satu orang kelahiran 1999. Itu artinya, anak-anak ini tidak masuk SD pada usia umum (6,5 hingga 7 tahun), tapi ketika sudah berusia delapan, sembilan bahkan sepuluh tahun.

Anak-anak di kelas lainnya pun demikian. Sepuluh dari sebelas anak di kelas III adalah kelahiran tahun 1997. Enam dari sebelas anak di kelas II adalah kelahiran 2001. Sisanya adalah anak kelahiran tahun 1998 dan 1999. Menurut salah seorang murid kels II, Rapita, tiap hari biasanya ia berjalan kaki ke sekolah. Jika menempuh jalan umum, jarak dari rumah ke sekolah bisa mencapai sekitar lima kilometer. Tapi karena ia mengambil jalan pintas melewati perkebunan semak belukar, jarak itu berkurang drastis menjadi hanya setengah kilometer. ‘’Kalau ada minyak (bensin) kereta (motor), diantar bapak naik kereta. Kalau tak ada minyak jalan kaki. Dulunya ini (jalan ke sekolah) masih hutan. Sekarang sudah ganti jadi kebun sawit,’’ kata Rapita.

Kondisi ini pun dibenarkan oleh Idon. Ia mengaku, anak-anak ini termasuk lambat masuk sekolah karena memang tempat bersekolah itu betul yang tidak ada selama ini. ‘’Sampai kini pun kami masih kurang perhatian. Termasuk dari Pemkab setempat. Padahal sudah empat tahun sekolah ini berdiri. Jangankan memberi bantuan, datang melihat saja, sekalipun belum pernah,’’ tuturnya.

Tahun Kelima Pendidikan Anak Marjinal
Menurut Kabid Penelitian dan Kerja Sama Pembangunan Bappeda Riau, Dr Kasmianto MPd, program Pendidikan Anak Marjinal di Riau sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2004. Ketika itu, sekolah marjinal baru ada di empat kabupaten yakni Kuantan Singingi, Indragiri Gulu, Indragiri Hilir dan Pelalawan. Sejak tahun 2005, barulah sekolah marjinal ini ada di semua kabupaten/kota di Riau.

Syarat bisa belajar di sekolah marjinal ada tiga. Pertama, anak sudah usia masuk sekolah. Yakni 7-13 tahun untuk SD dan 15-17 tahun untuk SMP. Kedua, berasal dari keluarga marjinal. Yakni dengan indikator penghasilan orangtua di bawah upah minimum provinsi atau kabupaten/kota, memang tak pernah sekolah sama sekali atau putus sekolah. Atau kendala faktor geografis seperti tak ada atau jauh dari fasilitas sekolah. Ketiga, faktor sosial. Yakni anak dari keluarga broken home (ayah dan ibu berpisah), pandangan orangtua bahwa anak tak perlu sekolah, anak dari komunitas adat terpencil (suku terasing) dan lain sebagainya.

‘’Bangunan sekolahnya menumpang di rumah-rumah penduduk, Posyandu, rumah kepala desa atau tempat lain yang bisa. Diupayakan, hanya empat tahun dalam kondisi seperti ini. Memasuki tahun kelima, sudah harus dipisah dan jadi sekolah mandiri. Bisa pindah ke sekolah induk atau membuat bangunan sendiri di sana. Kini sudah dibangun gedung SD/SMP marjinal pada 14 kelompok belajar (pokjar) se-Riau,’’ tutur Kasmianto.

Menurut pria yang sebelumnya menjabat Kasubdin SD di Dinas Pendidikan Riau ini, sesuai data hingga awal 2008, ada total 80 pokjar se-Riau dengan jumlah murid 1.500 orang dan 196 orang guru. Masih untuk tahun 2008, telah dianggarkan dana sebesar Rp2,5 miliar dari APBD Riau untuk program ini. Di dalamnya sudah termasuk biaya operasional, biaya pengelola, biaya monitoring dan gaji guru yang masing-masing menerima Rp800 ribu per bulan. Semua anak di sekolah marjinal gratis uang sekolah, baju dan alat tulis. Sayangnya, lanjut Kasmianto, untuk seragam sekolah hingga kini masih ada kendala. Sebab setelah dilelang, pihak yang dapat proyek tak bisa menyiapkan pakaian tepat waktu sehingga kerja sama terpaksa dibatalkan.

Dikatakannya, secara sistem, sekolah marjinal tetap terdaftar di sekolah induk (sekolah negeri yang terdekat) tapi dalam bentuk kelas jauh yang bisa mengadakan ujian mandiri. Targetnya, minimal anak bisa tamat pendidikan dasar setingkat SMP. Satu pokjar minimal diisi sepuluh murid. Di sini, bukan anak yang aktif mendaftar, tapi justru guru yang harus aktif mencari anak yang belum atau putus sekolah. Besarnya bantuan sesuai kondisi pokjar. Jika bisa, jam sekolah sama dengan jam sekolah formal. ‘’Karena itu, yang penting cari dulu gurunya minimal dua orang. Setelah dapat minimal sepuluh anak, bisa mengajukan sebagai sekolah marjinal ke Dinas Pendidikan Riau,’’ ujar anak jati Kuantan Singingi ini.

Salah satu kendala di sekolah marjinal menurut Kasmianto adalah jam belajar yang disesuaikan dengan kondisi anak. Akibatnya, mau tak mau, guru pun jadi tambah repot. Tapi biasanya ini hanya berlangsung selama 1-2 tahun, sebelum anak terbiasa sekolah. ‘’Kalau di kota, kendala utama adalah anak yang dijadikan pekerja. Di desa, anak juga dituntut membantu orangtua meningkatkan perekonomian keluarga. Belum lagi adanya anggapan orangtua, anak tak perlu sekolah. Tapi mudah-mudahan ini bisa dikurangi,’’ harapnya.

Kendala lainnya adalah masalah operasional seperti pembayaran gaji guru yang masih dirapel serta proses belajar mengajar yang kurang kondusif sebab guru malas mengajar karena situasi dan kondisi anak didik. Untuk guru, tenaga yang telah direkrut ada dari jenjang S1, lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan tamat SMA. Syaratnya, guru huni (nama untuk guru bantu di sekolah marjinal, red), harus orang tempatan. Ini untuk menghindari masalah klasik guru kerap minta pindah jika ditugaskan di daerah terpencil. Saat ini, sudah ada 42 orang guru tamatan SMA yang diberi tugas belajar melanjutkan kuliah. Tahun 2009, sekitar 25 orang guru huni telah diangkat jadi CPNS.

‘’Akhir 2008 lalu sudah banyak sekolah marjinal yang tamat dan ditutup. Karena itu, jika masih ingin melanjutkan, silakan cari murid di kecamatan lain misalnya, asal masih tetap di kabupaten/kota yang sama. Selain itu, kami juga mengharap kabupaten/kota ikut membantu dengan mengalokasikan dana untuk sekolah marjinal,’’ ungkap Kasmianto.***


Purnimasari adalah wartawan Riau Pos. Tulisan ini masuk nominator Rida Award III 2009 yang dimuat di Riau Pos pada 8 Februari 2009

Dilema Pendidikan Marjinal

JAKARTA, Kementerian Pendidikan Nasional akan menggelar sejumlah kegiatan untuk menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pentingnya program pendidikan untuk semua (Education for All/EFA) melalui Pekan Aksi Global Pendidikan Untuk Semua 2010. Tema aksi tahun Ini adalah "Pembiayaan Pendidikan Bermutu Hak untuk Semua". Aksi Ini yang dipusatkan di tiga kota, yaitu di Jakarta, Bandung, dan Makassar pada 19-25 April 2010.

Direktur Pendidikan Masyarakat, Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kemendiknas, Ella Yulaclawati, mengatakan berbagai aspek menyangkut pembiayaan program Pendidikan Untuk Semua (PUS) akan dikupas secara komprehensif dalam seminar sehari di Jakarta pada 22 April 2010 yang menghadirkan narasumber antara lain Mendiknas Mohammad Nuh, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Abbas Ghazali (UIN Jakarta) dan Nina Sapti Triaswati PhD (Universitas Indonesia).

Menurut Ella, aspek pembiayaan dalam program Pendidikan Untuk Semua cukup problemati;.. Sejumlah pertanyaan muncul me-nyangkut aspek pembiayaannya, terutama mengenai standar biaya pendidikan bermutu until] mua orang. "Berapa biaya untuk pendidikan anak-anak yang terpinggirkan (marjinal). Kemudian, apakah pembiayaan itu akan bermanfaat atau malah mubazir? Untuk mendidik anak-anak marjinal, pemerintah tidak cukup hanya memikirkan aspek pendidikannya saja, melainkan juga memikirkan aspek kebutuhan dasar mereka," kata Ella, jumat (16/4).

Ia mengatakan, tidak semua program pendidikan yang diberikan bagi kelompok marjinal dapat menghasilkan produk pendidikan seperti yang diharapkan.Kegiatan lain dari pekan aksiglobal program Pendidikan Untuk Semua adalah workshop layanan pendidikan bagi para orang lanjut usia. Acara yang akan diadakan di Bandung pada 23-26 April ini akan diikuti beberapa lembaga pendidikan.

Mcnurut dia, orang berusia lanjut umumnya tidak bisa mandiri, oleh karena itu perlu ada materi pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan ini bertujuan mempersiapkan orang-orang menjelang usia lanjut agar bisa hidup mandiri dan sehat pada saat mereka telah berusia lanjut. "Jika mereka bisa hidup mandiri dan sehat di usia senja, maka biaya hidup mereka akan bisa lebih ditekan. Jadi arahnya untuk efisiensi bagi negara," katanya.

Dalam waktu bersamaan juga diselenggarakan kegiatan workshop layanan pendidikan bagi anak-anak terpinggirkan, yaitu keluarga korban eksploitasi seksual anak (ESA), anak perempuan jalanan, dan anak daii para pekerja rumah tangga. "Seluruh rangkaian acara tersebut merupakan bagian dari kampanye tahunan dunia yang diselenggarakan Kampanye Global Campaign for Education, sebuah koalisi internasional organisasi nonpemerintah dan serikat gum," kata Ella. Ant/yg

Program Pendidikan Anak Harapan Untuk Anak Marjinal

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan meluncurkan program pendidikan anak harapan, sehingga ke depan diharapkan tak ada lagi anak-anak marjinal tak tersentuh pendidikan.

Pendidikan ini berbasis asrama, sehingga konsepnya pun menyerupai pendidikan Pondok Pesantren (Ponpes), kata Suryadharma Ali di hadapan peserta Kongres Umat Islam Indonesia V di Wisma Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat malam.

Menag dan Mendiknas Mohammad Nuh hadir dalam dialog yang dipandu Tuty Alawiyah dan berlangsung hingga larut malam.

Menag mengatakan, program pendidikan anak harapan itu kini tengah dimatangkan. Tujuan dari program tersebut merupakan salah satu solusi mengentaskan kemiskinan, mengingat anak-anak didik berasal dari anak jalanan yang orang tuanya secara ekonomi tak memiliki kemampuan.

Yang lebih penting adalah meningkatkan partisipasi pendidikan dan memberi harapan besar kepada anak didik untuk memperbaiki kualitas hidup mereka, katanya.

Ia menjelaskan, jika program ini dapat berjalan diharapkan anak jalanan dapat terhindar dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual.

Sebelumnya ia menjelaskan bahwa pendidikan bagi anak harus dipandang sebagai kewajiban dan tak mengenal diskriminasi. Karena itu pula keberhasilan pendidikan harus pula memiliki tolak ukur yang jelas. Salah satunya adalah melalui ujian nasional (UN) yang belum lama ini berlangsung dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Ada yang memandang UN tak perlu, tapi ada yang menganggap penting sebagai "pintu masuk" mengukur keberhasilan program pendidikan secara nasional.

"Jika tak ada tolok ukurnya dan hanya diberikan surat tanda tamat belajar, lalu bagaimana mengetahui pendidikan itu punya nilai kompetitif," tanya Suryadharma Ali.

"Jadi, UN penting sebagai tolok ukur keberhasilan anak didik," tegasnya.

Mendiknas Muhammad Nuh menjelaskan, UN dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana standar kualitas pendidikan yang dimiliki. Jadi, UN merupakan pintu masuk untuk melakukan perbaikan pendidikan. Banyak kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan UN. Tapi, jangan salahkan UN karena di situ terkait antara kejujuran dan prestasi.

Ia mengakui hasil UN banyak menimbulkan kekecewaan. Terutama bagi yang menolak diselenggarakannya UN itu. Terlebih bagi yang gagal dan bahkan sampai satu sekolah tak lulus.

Padahal, dengan kegagalan itu menjadi kewajiban semua pihak untuk melakukan perbaikan bersama. Termasuk pemerintah dengan mengintervensi di lembaga pendidikan bersangkutan, katanya.

"Ini harus diperbaiki. Ada apa di lembaga pendidikan itu," ia menjelaskan.

Pendidikan harus dilaksanakan dengan paksa. Perbaikannya juga demikian. "Paksa di sini harap dibaca dengan tanda kutip, sehingga semua pihak ikut memiliki tanggung jawab," katanya.

Dengan demikian, sekitar 55 juta siswa dan 2,6 juta tenaga guru yang ada saat ini harus memacu diri meningkatkan kualitasnya, kata Nuh.

Nuh juga mengaku kaget bahwa ada sekolah ketika UN berlangsung satu sekolah tak lulus semua. Setelah diteliti, siswa menjawab dengan jawab benar sama seluruhnya. Juga dalam terlihat dalam lembar jawaban memberikan tanda salah sama bagi seluruh siswa.

Ini pasti ada yang meracuni anak-anak dengan kunci jawaban yang salah, sehingga satu sekolah tak lulus. Karena itu, ia mengimbau agar orangtua siswa pun ikut memberi penyadaran terhadap anak. Peristiwa itu terjadi akibat degradasi karakter.

"Jadi, pendidikan berkarakter bagi siswa di masa datang juga menjadi penting," kata Nuh. (E001/K004)

COPYRIGHT © 2010