Headline News :

Kamis, 17 Juni 2010

Melepas Anak Kenegeri Orang

MUNGKIN Anda sedang bingung imtuk melepas anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Di satu sisi, ingin memberikan pendidikan terbaik kepada anak, di sisi lain rasa cemas dan khawatir menghantui. Namun, haruskah peluang itu terganjal hanya oleh rasa cemas?

SEPERTI diakui Ny. Ida Zuhida, pengusaha yang aktif ini mengaku, saat anaknya yang duduk di kelas 2 SMA memutuskan ikut seleksi pertukaran pelajar Indonesia - Amerika melalui program AFS, ia selaku orang tua langsung memberikan kepercayaan penuh kepadanya. Pasalnya, kata Ida, anak itu memang sudah terlatih mandiri sejak kecil. Ia terbiasa .pergi-sekolah naik angkutanumum sendiri pukul 5.15 dari rumah ke sekolahnya di SMPN 5 hingga SMA 3. Pulang malam juga biasa karena harus mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan formal, seperti les bahasa Inggris, musik, dan ekskul di sekolah. Namun, perasaan haru biru dan gembira justru mencuat saat sang putri terpilih menjadi siswa pertukaran pelajar yang dikirim ke Oregon, Amerika Serikat.

"Malah saya berubah menjadi agak tegang. Masalahnya temyata dia tidak boleh membawa alat komunikasi handphone. Tujuannya mungkin agar anak benar-benar mandiri dan jauh dari intervensi keluarganya. Jadi kami sekeluarga hanya boleh menunggu kabar darinya dan menelefon sesuai perjanjian dengan keluarga barunya di sana," ujar Ida kepada "RR".

Namun, Ida dan suaminya percaya, di mana pun bumi dipijak, Allah SWT akan menjadi pelindung terbaik bagi siapa pun. Hal senada disampaikan Ketua Yayasan LJBPP Lia Buah Batu Aliet Sojariah Fahmi. Bulan Juni mendatang, ibu empat anak ini harus melepas dua anak gadisnya ke Prancis dan Jerman. Pasalnya, putri ketiganya memang mengambil kuliah dual degree yang mengharuskan mahasiswanya mengambil mata kuliah di negara asal. Sementara itu, anak keduanya memperoleh funding dari satu lembaga untuk melanjutkan S-2 di Jerman setelah ia memperoleh gelar lulus sarjana arsitektur di kampusnya.

Dalam mempersiapkan keberangkatan kedua putrinya, Aliet mengaku akan mengajak kedua anaknya umrah terlebih dahulu. Seperti saat ia akan melepas putra pertamanya melanjutkan S 2 di Australia. "Dengan mengajak umrah ini sayai-nginmembekali mereka bahwa ftieskipun saya dan suami tidak ada atau berjauhan dengan mereka, tetapi Allah SWT akan senantiasa ada untuk mereka," ujarnya.

Aliet mengaku, dia tidak terlalu cemas dibandingkan saat akan melepas anak laki-lakinya. Selain kedua anak perempuannya sangat dekat dengan agama, mereka juga termasuk anak-anak yang sudah siap secara mental. Sebab, jauh sebelum anak-anak memasuki saatnya jauh dari orang tua, Aliet yang lulusan Fakultas Psikologi Unisba ini selalu menanamkan keseimbangan IQ, EQ, dan SQ kepada anak-anaknya.

Kendati begitu, Aliet menggarisbawahi tiga hal penting bila orang tua akan mendorong anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Pertama, sikap dan mental anak sudah siap. Artinya, anak tidak akan terkontaminasi budaya-budaya buruk setempat Akan tetapi sebaliknya dapat menyerap budaya baik sehingga memberikan perubahan cara berpikir, bertindak, dan bersikap. Kedua, secara finansial juga siap. Ketiga, kemampuan intelektual anak memadai.

Sebaiknya setelah S-1

Sementara itu, psikolog dari Fakultas Psikologi Unisba Dra. Dewi Sartika Akbar, MSi., Psi. mengatakan, penanganan anak yang akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri berbeda-beda. Sesuai dengan latar pendidikan sebelumnya dan pendidikan lanjutan yang akan diambil. Dewi menyarankan, melanjutkan pendidikan di luar negeri sebaiknya untuk lulusan S-i yang akan melanjutkan pendidikan ke S-2. Mengingat lulusan SMA di Indonesia pada umumnya belum siap secara mental, kemandirian, dan kedewasaannya.

"Kalau dipaksakan akan jauh lebih repot dibandingkan dengan orang yang akan melanjutkan pendidikan setingkat S-2. Karena anak-anak lulusan SMA di Indonesia ketergantungannya terhadap orang tua masih sangat tinggi. Berbeda dengan anak-anak remaja asing yang sejak high school pun sudah dilepas orang tuanya," ujar Dewi.

Persiapan yang dapat dilakukan menurut Dewi antara lain adalah siap secara in-telegensia. Artinya, orang tersebut sebaiknya melakukan pemeriksaan tes IQ terlebih dahulu. Hasil tes tersebut akan memberi gambaran kecocokan dengan perguruan tinggi yang akan dipilih. Langkah berikutnya adalah menyiapkan mental dan kepribadian anak dalam kemandirian dan penyesuaian diri. Informasi tersebut dapat diperoleh dari dialog pembahasan hasil tes IQ.

Tes kemampuan lain yang harus dilakukan adalah tes kemampuan dalam menyesuaikan diri. Hasil tes dapat memperlihatkan apakah anak tersebut termasuk kategori mudah menyesuaikan diri dan gaul,atau sebaliknya.
"Bila temyata anak kita termasuk kategori sulit bergaul, orang tua mau tidak mau harus intensif menjaga hubungan dengan anak. Sebab, anak seperti itu akan mengalami kesulitan pada saat harus beradaptasi," ujar dia.

Oleh karena itu, Dewi mengingatkan, keinginan melanjutkan pendidikan keluar negeri idealnya merupakan keinginan semua pihak. Baik orang tua, anak, maupun keluarga secara keseluruhan. Apabila kelak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan lebih mudah penanganannya.

Sisi lain yang harus dipersiapkan adalah tes hasil akademik. Untuk memperoleh informasi yang akurat, orang tua sebaiknya berkonsultasi dengan guru di sekolah. Menanyakan bagaimana pergaulannya dengan teman-teman, apakah pada saat anak tersebut mendapat kesulitan cenderung mudah mencari jalan keluar atau sebaliknya. Konsultasi ini penting mengingat di luar negeri nanti, dituntut penyesuaian diri yang cukup besar.

Selain itu, orang tua juga harus menyiapkan mental, moral, dan etika. Semua ini kata Dewi, tidak dilakukan dalam tempo sekaligus, tetapi selama anak itu dipersiapkan akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. "Rumah sebagai basic penanaman nilai-nilai, norma, agama, itu nantinya akan sangat tampak. Begitu juga motivasi yang mendasarinya. Kalau cuma untuk mengejar gengsi atau kebanyakan uang, hasil yang diperoleh akan berbeda dengan orang yang memang tujuannya untuk belajar," ujar Dewi.

Ibadah bijak

Walaupun anaknya sudah mandiri, Ida mengaku, rasa khawatir tetap besar. Kendati begitu, ia dan suaminya tidak menunjukkan kecemasan itu di depan anaknya.

Ia mengatakan, walaupun anaknya jauh, ia tetap dalam jangkauannya. Suatu ketika, anaknya diminta berbicara tentang Islam, mewakili masjid di Oregon. Saat itu India baru diserang teroris (2008) dan semua pemuka agama diminta mewakili agama masing-masing untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, karena "us-taz" di masjid Oregon itu sedang tidak ada. putrinya yang harus menyampaikan segala sesuatu tentang Islam di hadapan para pemuka agama lain yang sudah tentu amat senior. "Untuk itu dia berdiskusi melalui pos-el dengan ayahnya, meminta pendapat apa yang sebaiknya ia bicarakan di sana. Bayangkan anak SMA berbicara di hadapan semua pemuka agamasenior," ujar Ida.

Diajuga tidak tergoda minuman keras, pergaulan bebas yang lazim dilakukan teman-temannya di sana. Intinya, kata Ida, kemandirian yang berlandaskan agama perlu dipersiapkan bagi anak-anak yang akan dilepas ke negara jauh.

Lain lagi dengan Aliet, sebagai orang tua, ia tetap merasa kangen saat anaknya tidak ada. Namun dengan berbagai alat teknologi canggih, Aliet mengaku tidak merasa susah dalam menjalin komunikasi dengan anaknya saat kuliah di Australia. Terlepas dari semua cara itu, Aliet menegaskan, komunikasi paling canggih adalah tali batin antara anak dan orang tua Di mana anak akan selalu ingat apa yang dikatakan orang tuanya, terutama ibu, dan apa yang dianjurkan oleh agamanya. Dengan landasan itu, Aliet yakin, anak akan tetap punya kendali bagi dirinya.

0 komentar: