Headline News :

Jumat, 11 Juni 2010

Mengangkat Bahasa Daerah?

Bahasa daerah, masih fasihkah berbahasa daerah? Kalau di Jawa Timur ada bahasa “ngoko” (o dibaca seperti kata mobil), ada juga kromo inggil. Terakhir kali saya mendapat pendidikan formal mengenai bahasa daerah ketika SMP. Saya pikir bahasa daerah memang patut dilestarikan, hal ini saya sadari ketika sudah beberapa tahun meninggalkan kampung halaman (Blitar, -Red), kalau dulu sewaktu SMP saya suka bahasa karena mudah dan tidak sulit untuk mendapat nilai diatas 80 hehehe.

Menyoal bahasa daerah, bagaimana menurut Kompasianers? Apakah perlu diangkat kembali? Lalu apa manfaat dari pengangkatan bahasa daerah, bukankah sudah ada bahasa satu untuk semua (indonesia)? Saya heran, semasa sekolah saya cukup bangga berbahasa indonesia karena masih cukup sedikit yang menggunakan dialek Indonesia di lingkungan sehari-hari, ya terlihat sedikit lebih keren kalau menggunakan bahasa Indonesia :D, sedangkan sekarang saya malah membiasakan menggunakan bahasa daerah meskipun ditempat dan waktu yang kurang tepat, baik dikantor ataupun di kampus meski saya harus mencari lawan.

Hm…, bahasa daerah…!@#$!@#!!!

Mungkin bahasa yang kuno, ditinggalkan atau mungkin sudah usang? Memang di kampung saya bahasa daerah masih dijadikan bahasa sehari-hari, meski ada beberapa keluarga yang lebih dekat dengan jalan raya sudah mulai terdengar istilah “papa - mama”, hahahaha…., geli sekali rasanya mendengar anak kecil yang memanggil kedua orang tuanya seperti itu dikampung saya, padahal sekitar 4 tahun lalu masih kental dengan “njih, mboten, monggo pinarak” atau “iya, tidak, silahkan mampir” dalam bahasa indonesia. Inikah kemajuan?

Disatu sisi mengikuti perkembangan IPTEK itu memang harus, tapi disisi lain ada budaya luhur yang tidak boleh ditinggalkan karena itulah yang menjadikan beberapa gugusan pulau dan lautan ini disebut sebagai INDONESIA, dan karena itu pula Indonesia sebagai negara yang mempunyai jati diri. Namun rupanya secara perlahan bahasa daerah tidak lagi dipopulerkan, saya sendiri melihat beberapa balita yang sejak kecil telah dikenalkan dan diarah-arahkan agar menggunakan bahasa indonesia. Tidak ada yang salah dengan ajaran seperti, tapi apakah se urgent itu untuk mengajarkan bahasa indonesia ke sikecil? Menurut saya bahasa indonesia lebih mudah dipelajari daripada bahasa daerah, banyak sekali media-media yang dapat dijadikan sebagai “guru bahasa indonesia”. Dan lebih sulit mengajarkan bahasa daerah yang luhur, tentunya by default bahasa daerah menyisipkan nilai-nilai kesantunan.

Reduksi bahasa daerah sangat terpengaruh oleh pesatnya kemajuan teknologi maupun budaya asing yang merangsek masuk. Negara yang tertinggal lebih cenderung mempunyai ketahananan bahasa daerah yang kuat ketimbang negara berkembang. Negara berkembang seperti Indonesia ini masih gemar ikut-ikutan, dan belum dewasa dalam melakukan filter terhadap budaya yang masuk. “Seperti pinokio yang sedang berangkat ke sekolah namun ia lebih memilih bermain”.

Indonesia yang mengalami degradasi budaya juga berdampak pada “mental” dan “moral” masyarakatnya ini tak lepas dari pengaruh budaya negara lain yang mulai menggeser budi luhur warisan nenek moyang. Siapa yang tidak suka kebebasan? Siapa yang suka dibatasi? Sekiranya itu bisa menjadi jawaban meskipun bukan jawaban mutlak, coba kita lihat bahwa setiap warisan budaya yang ada selalu menyertakan paket-paket mengenai etika, etiket, sopan dan santun serta hidup yang penuh keteraturan. Dan ini ditambah lagi dengan orang tua yang enggan menyalurkan warisan luhur kepada putra putrinya. Jika dari Kompasianers sudah memiliki anak atau keluarga, pernahkan sekali-kali mengajak keluarga untuk menyaksikan pagelaran kesenian daerah? Pernahkah mengajarkan dialek bahasa daerah? Atau minimal menanamkan asal usul, bibit dan bebet?

Mungkin saja ketika sang ayah mengajak anaknya pergi ke pagelaran wayang kulit si anak menjawab “hah, hari gini wayang kulit, ke bioskop dong yah…” dan saya hanya bisa bilang weleh…weleh….

Salah siapa ketika nantinya Indonesia tidak menjadi negara yang bhineka tunggal ika tapi menjadi Indonesia negara yang tunggal :D? Bahasa daerah tetap perlu dilestarikan dan diangkat agar Indonesia tidak kehilangan jati diri sebagai negara yang unix (bukan sistem operasi, -Red). Terkadang saya termenung cukup lama, berpikir siapakah dan harus bertanggung jawab dan bagaimana menyikapi hal ini, kira-kira apa yang bisa dilakukan, jika saya adalah pemerintah apa yang harus saya lakukan? Dan jawabannya adalah mensosialisasikan kembali “budaya Indonesia” secara keseluruhan dimulai dari dunia pendidikan, tapi sayang saya bukan pemerintah, dan mungkin hanya individu yang iseng berpikir seperti orang yang “ngerti” budaya padahal tidak. Tapi paling tidak saya mempunyai keinginan agar ketika nanti sudah berkeluarga saya tidak ingin anak-anak saya tidak tahu apa itu wayang kulit, siapa itu Werkudara, Gatotkaca, Srikandhi, apalagi sampai tidak tahu arti dari “njih, mboten, monggo pinarak” hehehe…

0 komentar: