Headline News :

Jumat, 16 November 2012

KONSEP POLA ASUH ORANG TUA DALAM MENGAJARKAN MEMBACA KEPADA ANAK

PENDAHULUAN
Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari sekedar kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat anak-anak senang dengan buku dan senang dengan kegiatan membaca. Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, anak-anak yang sudah bisa membaca pun menjadi tidak tertarik dengan buku dan aktivitas membaca. Namun demikian, tidak juga berlebihan kiranya jika orang tua mulai menyediakan media belajar membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat mulai begitu antusias dengan buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita. Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat untuk dibicarakan dan tak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada anak usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata "belajar".
Permasalahan yang muncul ketika anak sudah mulai mengenal huruf adalah orang tua pada umumnya mengalami kesulitan dalam membimbing anak-anaknya untuk mengajari membaca.


KAJIAN TEORI
Pola Asuh Orang Tua
Tipe dan karakteristik pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Pada pokoknya ada tiga tipe dan karakteristik pola asuh orang tua yang umum dan sering kita jumpai di masyarakat dan nampak jelas dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Ada pun ketiga pola asuh tersebut antara lain :
1. Pola Asuh Demokratik
Pola Asuh Demokratik merupakan pola asuh yang ideal dan tepat dalam rangka mendukung proses tumbuh kembang anak secara optimal. Dalam pola asuh demokratik anak diajari, dibimbing, dan berlatih untuk saling menghargai, toleransi, disiplin, bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, sopan santun, dan turut serta menciptakan suasana kondusif, harmonis karena adanya keterbukaan oleh semua anggota keluarga. Apabila anak mengajukan tuntutan/permintaan kepada orang tua orang tua dapat menyetujui dengan alasan-alasan yang dapat diterima oleh anak, demikian juga apabila orang tua tidak menyetujui juga dengan alasan-alasan yang logis sehingga anak-anak dapat menerima hal tersebut. Dalam pola asuh demokratis, anak tumbuh dengan rasa percaya diri karena setiap kali muncul permasalahan selalu diselesaikan dengan musyawarah.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola Asuh Otoriter cenderung membawa anak untuk tidak jujur, tidak disiplin, dan tidak memiliki rasa percaya diri karena selalu tumbuh dan berkembang di bawah tekanan. Dalam pola asuh otoriter tidak muncul sikap saling menghargai, orang tua mau menang sendiri, tidak ada lagi komunikasi. Yang ada adalah anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan gagasan-gagasannya, semua apabila tidak cocok dengan kehendak orang tua tidak akan didengarkan. Orang tua penginnya selalu menang sendiri. Anak tumbuh dibawah tekanan, di dalam lingkungan rumah barangkali anak dapat menjadi anak yang penurut, akan tetapi di luar rumah kalau tidak menjadi anak yang tertutup dan tidak punya rasa percaya diri, anak dapat berkembang menjadi anak yang radikal karena di luar rumah merasakan kebebasan dan bebas dari tekanan.
3. Pola Asuh Permisif
Pola Asuh Permisif cenderung membentuk anak tidak memiliki pendirian. Hal ini karena anak diberikan kebebasan yang terlalu bebas sehingga perhatian orang tua hampir tidak ada lagi. Biasanya orang tua cenderung asal memenuhi kebutuhan materi merasa sudah terbebas dari tanggung jawab dalam membesarkan anak. Anak menjadi tumbuh tanpa pengawasan, orang tua membiasakan serba boleh pada anak dan apabila hal ini dilakukan sejak usia dini maka anak menjadi tidak punya aturan dan disiplin baik di lingkungan keluarga maupun di luar. Anak tidak punya sikap menghargai orang lain karena dirumah juga tidak biasa didengarkan keluh kesahnya. Anak cenderung tumbuh dengan egonya yang tinggi. Apa saja keinginannya harus dituruti dan apabila hal ini berlangsung secara terus menerus sampai usia remaja dan dewasa maka hal ini akan menjadi masalah dan akan menghambat proses sosialisasi karena keinginannya yang selalu ingin dipenuhi oleh lingkungan di sekitarnya.
Dari ketiga pola asuh orang tua nampaknya Pola Asuh Demokratik merupakan pola asuh yang tepat dan cocok untuk tumbuh kembang anak secara optimal. Pola asuh demokratik yang cenderung memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk berkembang pada semua aspek kecerdasan mendorong anak untuk lebih cepat memnguasai kemampuan membaca. Hal ini karena anak memiliki tempat untuk bertanya, untuk belajar, dan untuk mengadukan segala permasalahan yang dihadapinya . Tentunya sangat berbeda dengan dua pola asuh lainnya yang cenderung mengabaikan hak-hak anak. Namun karena kecenderungan orang tua yang mengedepankan egonya kadangkala terlupakan, dan orang tua cenderung berpola asuh otoriter atau permisif.

Perkembangan Keterampilan Membaca
Belajar membaca mencakup perolehan kecakapan yang dibangun pada ketrampilan sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada lima tahapan dalam perkembangan kemampuan membaca, dimulai dari ketrampilan pre-reading hingga ke kemampuan membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa.
Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam alfabet. Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat “membaca” beberapa kata, seperti “Biskuit”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.” Kemampuan mereka untuk mengenali simbol-simbol populer ini karena seringnya melihat di televisi atau pun di sisi jalan serta meja makan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan antara pola huruf, meskipun belum dapat mengerti kata itu sendiri.
Pengetahuan anak-anak tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa generasi sebelumnya, hal ini dikarenakan pengaruh acara televisi anak seperti beberapa film kartun Dora, Diego, Popeye, dan lain-lain.
Tahap1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menterjemahkan simbol-simbol ke dalam suara dan kata-kata. Kemampuan ini diikuti dengan tahap kedua pada kelas dua dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca dengan fasih. Di akhir kelas tiga, kebanyakan anak sekolah sudah menguasai hubungan dari huruf-ke-suara dan dapat membaca sebagian besar kata dan kalimat sederhana yang diberikan.
Perubahan dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai dalam Tahap 3, dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8. Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan informasi dari materi tertulis, dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak di kelas ini diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “ how to” membaca ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk kelas selanjutnya bisa terhambat.
Tahap 4, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan kemampuan baca yang sangat fasih. Anak menjadi semakin dapat memahami beragam materi bacaan dan menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca.

PEMBAHASAN
Pengajaran Membaca
Ada dua pendekatan penting pada instruksi membaca dan komentar tentang bagaimana bukti penelitian dipertimbangkan dalam topik ini. Pada dasarnya (dan secara sederhana) instruksi membaca dapat dipikirkan sebagai salah satu cara, baik itu (1) proses bawah ke atas, anak-anak mempelajari komponen-komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf) dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh makna; atau (2) proses atas ke bawah, tujuan, pengetahuan latar belakang, dan ekspektasi anak-anak menentukan informasi apa yang dipilih dari teks. Proses terakhir ini merupakan suatu perspektif konstruktifis, mengingat kembali ide-ide Piaget. Tentu saja, membaca yang terampil melibatkan bottom-up dan top-down process, pembuatan tiap dikotomi artifisial. Namun demikian, reading instruction, terutama pada tingkat awal, sering menekankan satu terhadap lainnya, dan oleh karena itu dikotomi memiliki beberapa dasar dalam realitas.

Paradigma Belajar Membaca pada Anak Usia Dini : Pro dan Kontra Calistung.
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar membaca. Selama bertahun-tahun, belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan. Memang benar jika membaca diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Namun demikian pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding rumah. Biasanya dinding rumah hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Mengembangkan kemampuan para pendidik untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.


Metode Pengajaran Membaca pada Anak (Glenn Doman)
Ada dua faktor penting dalam Metode Glenn Doman ini adalah sebagai berikut :
1. Sikap dan pendekatan orang dewasa. Syarat terpenting adalah, bahwa diantara orang dewasa dan anak harus ada pendekatan yang menyenangkan, karena belajar membaca merupakan permainan yang bagus sekali. Biasakan anak membaca dengan suatu kegemaran, bisa dibuat permainan menarik untuknya;
2. Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat. Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya;
3. Jangan pernah memaksa anak untuk belajar membaca tanpa kemauan dia sendiri;

Membangkitkan Minat Baca Pada Anak Usia Dini
Luangkanlah waktu Anda sekitar 30 menit saja setiap hari untuk membacakan buku pada putra-putri Anda. Dijamin manfaatnya luar biasa besar. Utamanya kebiasaan itu dapat menciptakan ikatan emosi yang kuat antara orangtua - anak. Selain itu, merangsang anak untuk memperkaya kosa kata dan daya imajinasinya. Keuntungan lainnya adalah memupuk anak agar cinta membaca.
Pada dasarnya, untuk menanamkan cinta baca pada anak, jadikanlah waktu membaca sebagai saat yang menyenangkan bagi Anda dan seluruh keluarga. Beberapa tips berikut ini, rasanya layak dicoba :
1. Pilihlah ruangan yang menyenangkan bagi Anda dan anak;
2. Ungkapkanlah beberapa pertanyaan saat membacakan buku untuk merangsang anak menyelesaikan masalah dan mengasah kemampuannya;
3. Beri kesempatan pada anak untuk bertanya. Jika Anda tidak bisa menjawabnya, selesaikanlah masalah itu berdua dengan mencoba mencari jawabannya melalui kamus atau ensiklopedia;
4. Ajaklah anak Anda ke perpustakaan dan pilihlah buku-buku bersamanya;
5. Sediakanlah buku-buku di tempat yang lebih mudah dijangkau dibanding mainan;
6. Hadiahkanlah anak Anda buku kosong atau buku harian tempatnya mengungkapkan segala kenangannya.


KESIMPULAN
Sejak dalam usia dini anak perlu dikenalkan dengan dunia membaca. Otak mereka akan merekam isi bacaan apa pun yang disampaikan oleh orang tuanya dalam gaya cerita.
Orang tua perlu memahami perilaku anak, sehingga dapat menentukan metode apa yang tepat dalam mengajarkan membaca kepada anak.
Hal yang telah dipraktikkan dan menjadi tradisi di Jepang adalah gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child. Gerakan ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan anaknya sebuah buku yang dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum anaknya pergi tidur. (Buletin Pusat Perbukuan, Depdiknas No. 1 Tahun 2000).
Selain itu anak juga perlu diberikan buku-buku yang penuh warna-warni dan isinya memikat daya fantasi. Disamping untuk mengenalkan bentuk, juga mengenalkan warna pada anak. Karena pada usia dini anak belum mampu memperlakukan buku dengan baik, maka fisik buku yang diperlukan anak umumnya mesti kuat dan tebal, tak mudah robek dan gampang dibuka.


DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jerome S. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Buletin Pusat Perbukuan Depdiknas., No. 1 Tahun 2000. Gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child. Jakarta.

Direktorat PAUD. 2002. Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Usia Dini (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Depdiknas Press.
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat PAUD. 2002. Modul dan Bahan Pelatihan Pengelola dan Pendidik Kelompok Bermain. Jakarta : Proyek Pengembangan Anak Usia Dini Pusat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Http://tarmidi.wordpress.com/2008/02/20.Bagaimana menilai kesiapan anak masuk sekolah?
Http://djunaidird.wordpress.com/2008/09/1899 Cara Agar Anak Keranjingan Membaca « DjunDiBlog
Imam Musbikin. 2006. Mendidik Anak Kreatif Ala Einstein. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Latipun. 2006..Psikologi Konseling. Malang: UMM

Shapiro, Lawrence E. 2003. Mengajarkan Emosional Intellegence pada Anak. Jakarta: Gramedia.

Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar interaksi mengajar belajar: dasar dan teknik metodologi pengajaran, Bandung: Penerbit Tarsito.

0 komentar: