Abstract: Pendidikan di Indonesia
memiliki berbagai kelemahan dalam upaya penghapusan buta huruf, mulai dari
permaknaan konsep dasar sampai dengan pelaksanaan teknis di lapangan.
Keaksaraan fungsional menjadi sebuah pendidikan dasar kini di dalam wilayah format
pendidikan nonformal dan informal
Keyword:Functional Literacy,
Nonformal Education, Blind Literacy
PENDAHULUAN
Di Indonesia pendidikan luar sekolah sudah tumbuh
di tengah masyarakat sejak sebelum kemerdekaan. Namun pengakuan secara yuridis
formal terhadap keberadaan pendidikan luar sekolah di Indonesia baru pada tahun
1989, yaitu setelah adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dan kini sudah lebih di tekankan dan diakui pada
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
Dengan Undang-Undang ini terkandung hasrat mulia, untuk memberi pelayanan pendidikan
sepanjang hayat bagi seluruh warga masyarakat tanpa membedakan usia, kelamin,
suku, agama, budaya dan lingkungan. Empat kata kunci yang diperlukan untuk dapat
mewujudkan zat perekat dimaksud adalah kepercayaan, kesediaan, mendengar keterbukaan,
dan rasa tanggung jawab. Keempat elemen tersebut bukan sesuatu yang berdiri
sendiri dan terpisah tetapi merupakan satu kekuatan yang saling terkait, saling
memperkuat.
Pendidikan Kesetaraan hadir sebagai solusi
kelanjutan pendidikan di jalur nonformal namun setelah dipisahkan pendidikan
kesetaraan dari Pendidikan Nonformal dan Informal kini Program Keaksaraan
fungsional menjadi pendidikan dasar setelah Pendidikan Anak Usia Dini dalam
format sistem pendidikan nonformal dan informal.
Konsep pemahaman program keaksaraan fungsional di Indonesia khususnya melalui
lembaga Pendidikan Nonformal sudah dilaksanakan lebih dari 10 tahun. Meskipun program
pemberantasan buta aksara sudah dilaksanakan dengan berbagai pendekatan.
Keberhasilan pendidikan pada Keaksaraan
Fungsional (KF) tidak terlepas dari kemampuan Tutor dalam melaksanakan tugasnya
di kelompok belajar yang dikelolanya. Kegiatan belajar membaca, menulis,
berhitung dengan hurup latin, dan keterampilan fungsional menjadi tujuan utama
pada kegiatan pembelajaran di Kelompok
Belajar Keaksaraan. Telah kita ketahui bersama bahwa sistim pembelajaran pada
kelompok keaksaraan yang telah
dilaksanakan selama ini dengan
menggunakan sistem dari warga belajar,
untuk dan oleh warga belajar.
Apabila kita perhatikan apa dan bagaimana kejadian
pembelajaran melalui jalur pendidikan nonformal, akan jelas kita lihat ada 10
unsur (patokan) yang akan selalu ada pada setiap program (Anwas Iskandar).
Kesepuluh patokan tersebut adalah : warga belajar, sumber belajar, pamong
belajar, sarana belajar, tempat belajar, dana belajar, rajin belajar, kelompok
belajar, program belajar dan hasil belajar. Kesepuluh unsur tersebut di satu
sisi menjadi bagian yang mendukung program pembelajaran namun di sisi lain
dapat digunakan menjadi dasar untuk menentukan patokan, ukuran atau standard
penilaian untuk melihat sejauh mana pembelajaran mencapai tujuan yang
diinginkan.
A. WARGA BELAJAR
Adalah anggota masyarakat yang ikut dalam satu kegiatan pembelajaran.
Tidak digunakan istilah peserta didik murid, siswa, karena istilah ini memiliki
konotasi bahwa anggota masyarakat tersebut sebatas penerima tidak menjadi
pemilik dan penentu, kurang kelihatan aspek keterlibatan; sedang dalam kegiatan
PNF, warga belajar turut aktif menentukan apa yang diinginkannya untuk
dipelajari. Istilah warga menunjukkan bahwa anggota masyarakat tersebut adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran.
B. SUMBER BELAJAR
Adalah warga masyarakat yang memiliki kelebihan baik di bidang
pengetahuan, keterampilan, sikap dan mampu serta mau mengalihkan apa yang
dimilikinya pada warga belajar melalui proses pembelajaran. Sumber belajar
adalah orang yang merasa bertanggungjawab untuk meningkatkan kemampuan manusia
yang ada dilingkungannya. Mereka adalah manusia yang tidak masa bodoh dengan
kebodohan.
Sumber
belajar bukan hanya mereka yang memiliki ijazah pada tingkat pendidikan sekolah
tertentu, mereka yang tidak sekolah sekalipun, tetapi memiliki keunggulan dan mau
membagi keunggulan tersebut pada orang lain dapat menjadi sumber belajar. Sumber
belajar disebut juga dengan panggilan tutor, narasumber teknis.
C. PAMONG BELAJAR
Adalah tokoh masyarakat yang mampu dan mau membina, membimbing, mengarahkan
dan mengorganisir program pembelajaran masyarakat di sekitarnya. Pamong belajar
yang akan menjamin terjadinya proses pembelajaran bagi warga belajar rang telah
memutuskan untuk ikut pada program tertentu. Pamong belajar bertempat tinggal
di sekitar warga belajar sehingga mereka mudah berkomunikasi dan saling mendukung;
Pamong belajar bukan petugas struktural pemerintahan, tetapi petugas yang
diterima oleh warga belajar sebagai pembimbing mereka.
D. SARANA BELAJAR
Adalah bahan dan alat yang ada di lingkungan masyarakat, yang dapat
digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. Sarana belajar dalam wujudnya
dapat berbentuk buku, lembaran, bangunan, kekayaan alam, hewan, tumbuhan dan
apa saja yang apabila dipelajari dapat
menambah, meningkatkan wawasan dan pengetahuan warga belajar.
E. TEMPAT BELAJAR
Adalah tempat di mana dimungkinkan terjadi proses pembelajaran; Dapat
berwujud rumah, tempat pertemuan, tempat beribadah, balai desa, atau bangunan
yang tidak digunakan lagi namun masih memungkinkan digunakan. Pembelajaran
dapat terjadi dimana saja, sepanjang warga belajar, sumber belajar dan pamong
belajar menganggap tempat itu sesuai untuk mendukung pencapaian hasil belajar
yang diinginkan. Tempat belajar juga dapat berbentuk lapangan, tempat
bersejarah. Karena itulah dikatakan bahwa PLS tidak menuntut gedung, tetapi
kesempatan untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran.
F. DANA BELAJAR
Adalah uang atau materi lainnya yang dapat diuangkan dalam menunjang pelaksanaan
program pembelajaran yang telah disusun oleh pamong belajar bersama sumber
belajar dan warga belajar. Dana belajar dapat bersumber dari pemerintah, tokoh masyarakat,
pengusaha di lingkungan dimana warga belajar tinggal, maupun yang bersumber
dari warga belajar sendiri ataupun dari warga masyarakat secara umum.
G. RAGI BELAJAR
Adalah rangsangan yang mampu membangkitkan semangat belajar warga
belajar, sehingga proses pembelajaran terjadi; Terjadi tanpa paksaan, gertakan
tetapi karena kesadaran warga belajar serta kekuatan sang ada pada ragi belajar
itu sendiri. Ragi belajar merupakan kekuatan yang dahsyat baik yang bersumber
dari luar diri warga belajar maupun yang sebenarnya ada dalam diri warga
belajar yang menyebabkan warga belajar menjadi senang, gembira dan gigih untuk
terus belajar. Ragi inilah yang menyebabkan proses pembelajaran terus berjalan
sampai tujuan tercapai.
H. KELOMPOK BELAJAR
Adalah sejumlah warga belajar yang terdiri dari 5-10 orang, yang
berkumpul dalam satu kelompok, memiliki tujuan dan kebutuhan belajar yang sama,
dan bersepakat untuk saling membelajarkan. Kelompok inilah bersama sumber
belajar dan pamong belajar yang menentukan tempat dan waktu belajar. Kelompok
belajar adalah organ yang dinamis dan partisipatif.
I. PROGRAM BELAJAR
Adalah serangkaian kegiatan yang mencerminkan tujuan, isi pembelajaran,
cara pembelajaran, waktu pembelajaran, atau sering disebut dengan garis besar
kegiatan belajar. Program belajar disusun berdasarkan kebutuhan warga belajar.
Sehingga warga belajar menjadi pemilik dari program tersebut. Program
pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan warga belajar akan menyebabkan
warga belajar jenuh dan meninggalkan program. Program belajar tidak diatur,
dipaksakan oleh orang lain, tetapi tumbuh dari keinginan dan kebutuhan warga
belajar. Untuk menjamin mutu setiap program disusun acuan terendah yang harus
dicapai setelah menyelesaikan program.
J. HASIL BELAJAR
Adalah serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikuasai
warga belajar setelah proses pembelajaran tertentu dilalui dalam kurun waktu
tertentu. Kebermaknaan hasil belajar bagi peningkatan mutu hidup dan kehidupan
warga belajar menjadi patokan keberhasilan. Hasil belajar yang segera dapat
memperbaiki kehidupan warga belajar, merupakan ragi belajar untuk proses lebih
lanjut. Belajar hanya untuk tahu akan kurang bermakna bagi warga belajar.
Seperti sudah dibicarakan diatas, pendidikan anak dini usia bagi
sebagian anggota masyarakat belum menjadi suatu keharusan, sehingga kesediaan
untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk tujuan ini belum berkembang.
Dengan demikian bagi mereka yang memiliki dana yang cukup dan yang menggunakan perhitungan
secara ekonomi, bidang pendidikan anak dini usia masih belum merupakan komoditi
yang menjanjikan. Dari beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam
mengembangkan pendidikan anak dini usia, dapat disimpulkan bahwa peran
pemerintah masih sangat dibutuhkan sebagai penyandang dana sebagai motivasi,
provokator, dinamisator penumbuhan kesadaran akan pentingnya pendidikan anak
dini usia. Sedang pelaksanaan dapat melalui berbagai organisasi kemasyarakatan.
PROGRAM PENDIDIKAN DASAR
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa, sangat
dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia, karena manusialah yang merupakan
aktor utama dalam pembangunan. Contoh konkret yang dapat kita lihat sekarang
bahwa 70% tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan sekolah menengah atau
kurang. Kondisi sumber daya manusia seperti ini sangat sulit mendukung
pembangunan pertumbuhan ekonomi baik secara sektoral maupun nasional. Cukup
bukti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar peluang
untuk lebih mampu berperan serta dalam pembangunan, sebagaimana hasil studi
yang dilaksanakan oleh UNESCO (2010), yang menyimpulkan bahwa:
“... education especially basic education can make significant
contribution to poverty eradication and enhancement of quality of life“.
Selanjutnya UNESCO dalam bukunya yang berjudul “Human
development is a process of enlarging people’s choices. Three essentials areas
are for people to lead a long and healthy life, to acquire knowledge and to
have access to a source needed for a decent standard of living”, di sini
kita diingatkan bahwa pendidikan (pendidikan dasar utamanya) pada hakikatnya
harus memberi kesempatan kepada setiap orang agar mereka memiliki banyak
pilihan dalam hidupnya.
Ada tiga prinsip yang harus diperhatikan, yaitu
membantu mereka agar memiliki umur panjang dan hidup sehat, mendapatkan
pengetahuan, dan memiliki akses untuk dapat memenuhi standard kehidupannya
secara layak. Ini berarti bahwa sebenarnya pendidikan, utamanya, pendidikan
dasar bukannya hanya untuk mereka yang berusia sekolah saja, mereka yang
berusia di luar usia sekolah yang karena berbagai hal tidak berkesempatan memperoleh
pendidikan berhak pula untuk mendapatkannya.
secara tegas dinyatakan bahwa sistem pendidikan nasional diselenggarakan
melalui tiga jalur, yakni jalur pendidikan formal, jalur pendidikan informal dan pendidikan
nonformal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya perhatian dan bantuan
pemerintah untuk jalur pendidikan nonformal.
Namun demikian kita tidak boleh
“mengkambing-hitamkan” masalah dana semata, tetapi secara jujur berdasarkan
kenyataan yang berhasil diamati penulis dalam penyelenggaraan program-program
masih terdapat banyak kendala/permasalahan yang membuat hasil yang di harapkan
belum dapat tercapai. Sudah banyak usaha atau upaya pemecahan masalah
dilaksanakan dalam penyelenggaraan program di lapangan, tetapi selama ini
pemecahan masalah tersebut banyak yang kurang tajam, artinya pemecahan masalah
tersebut tidak mengena pada akar permasalahan, tetapi lebih bersifat pada “pengobatan”
terhadap kejadian atau symptom yang dialami, tanpa menganalisis lebih jauh penyebab-penyebab
kejadian tersebut.
Untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan program di
masa yang akan datang perlu diadakan peneropongan, penggalian, pengungkapan (scanning)
yang menyeluruh pada semua kejadian yang menghambat pelaksanaan program,
kemudian dicari akar permasalahannya. Upaya pemecahan masalah harus diupayakan
pada upaya pemecahan akar permasalahan, sehingga berbagai aspek yang terjadi
akibat dari akar permasalahan tersebut dapat tertanggulangi. Sebab satu akar
permasalahan dapat mengakibatkan berbagai kejadian, sehingga apabila akar
permasalahan belum tertanggulangi, sedangkan salah satu kejadian yang
diakibatkan oleh akar permasalahan diatasi, maka kejadian kejadian serupa yang menghambat
pelaksanaan program akan terus terjadi secara berulangulang, jika tidak dapat
dikatakan mubazir, maka upaya tersebut kurang efektif.
Pendidikan dasar dalam jalur pendidikan luar
sekolah adalah bentuk pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang karena
berbagai hal tidak memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan pada jalur
sekolah, sehingga mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar,
minimal setara dengan tamatan pendidikan dasar. Dalam pelaksanaannya pendidikan
dasar pada jalur pendidikan luar sekolah, dilaksanakan melalui program: 1)
Pemberantasan Buta Aksara melalui Keaksaraan Fungsional; Dalam usaha
meningkatkan kinerja program pendidikan dasar luar sekolah tersebut, berbagai
permasalahan yang dihadapi adalah seperti digambarkan berikut.
PERMASALAHAN PROGRAM PEMBERANTASAN BUTA AKSARA, MELALUI KEAKSARAAN
FUNGSIONAL
Program pemberantasan buta aksara melalui
keaksaraan Fungsional, di masyarakat lebih dikenal dengan program “Keaksaraan
Fungsional (KF)” saja. Program KF adalah program pemberantasan buta aksara yang
substansi belajarnya disesuaikan dengan kebutuhan dan minat warga belajar
berdasarkan potensi lingkungan yang ada di sekitar kehidupan warga belajar.
Dengan demikian hasil yang diharapkan dari program ini adalah warga belajar
dapat memanfaatkan hasil belajarnya dalam kehidupannya sehari-hari (bersifat
fungsional), guna peningkatan kualitas kesejahteraan hidupnya. Selama
pelaksanaan program KF, banyak kejadian yang menghambat kinerja program, antara
lain:
1. KESALAHAN REKRUITING WARGA BELAJAR
Dari hasil pengamatan selama ini diperkirakan bahwa sebagian besar warga
belajar program Keaksaraan Fungsional bukan berasal dari buta huruf murni, kejadian
ini mengakibatkan disamping sulit mengetahui peningkatan hasil belajar akibat
dari proses belajar, juga jumlah buta huruf yang ada penurunannya cukup merisaukan.
Patut diduga kecilnya penurunan ini sebagai akibat program tidak melayani
“siapa yang harus dilayani”. Petugas Dikmas di lapangan sering melakukan kesalahan,
yakni merekrut siapa saja yang mau menjadi warga belajar KF, bukan merekrut
siapa yang harus direkrut menjadi warga belajar KF.
Tidak adanya “data base“ menyulitkan pelaksanaan proses
rekruiting. Data merupakan amunisi tempur bagi seorang perencana dan pelaksana
suatu program, karena itu keberadaan data yang terus menerus diremajakan agar
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan akan sangat diperlukan setiap saat.
Peremajaan (updating data) hanya akan berarti apabila telah dimiliki
data dasar yang dikumpulkan dengan cara dan alat yang tepat. Pendidikan luar
sekolah belum memiliki data yang akurat tentang penduduk buta huruf di setiap
wilayah kecamatan yang merupakan wilayah kerja seorang petugas pendidikan luar
sekolah.
Akibat dari kurang akuratnya bahkan tidak adanya data base, selain mengakibatkan
terjadinya kesalahan dalam perekrutan warga belajar juga mengakibatkan beberapa
kejadian lain seperti proposal program kurang realistik, pengalokasian program
yang kurang tepat artinya bukan pada lokasi di mana terdapat warga masyarakat
buta huruf banyak.
2. PROSES/PROGRAM PEMBELAJARAN BELUM MENGGUNAKAN POLA INTERAKTIF
Program belajar atau proses pembelajaran dalam program keaksaraan fungsional
belum merupakan proses interaktif antara warga belajar dengan tutor. Komunikasi
dua arah warga belajar dengan tutor mutlak harus terjadi karena walaupun
sebenarnya warga belajar buta huruf, namun harus diakui bahwa dalam kehidupan
warga belajar sehari-hari banyak pengalaman yang dihayati, dan ini merupakan
pengetahuan yang sangat berharga yang dimiliki warga belajar. Di dalam program
keaksaraan fungsional proses belajar terjadi secara interaktif baik antar warga
maupun dengan tutor sehingga mereka terlibat secara aktif di dalam proses
pembelajaran, bukan dengan pola satu arah. Dengan proses yang interaktif akan
tercipta keberanian, hubungan yang harmonis, penghargaan atas pengalaman dan
pengetahuan orang lain dan yang paling penting timbul rasa harga diri bagi
warga belajar.
Kenyataan di lapangan tidak jarang terjadi tutor, narasumber teknis atau
sumber belajar “mengajar” dalam arti menggurui warga belajar tanpa mempertimbangkan
bahwa warga belajar dewasa sarat dengan pengalaman dan ilmu kehidupan yang
tentu tidak dimiliki tutor yang lebih muda. Kejadian-kejadian lain yang juga
sering ditemui dalam proses pembelajaran program keaksaraan fungsional adalah
warga belajar banyak yang putus belajar di tengah jalan serta hasil belajar yang dicapai kurang
mampu memenuhi kebutuhan belajar warga belajar dan pada akhirnya tidak mampu
juga memenuhi kebutuhan pasar.
Pertanyaan kita sekarang, mengapa hal ini terjadi? Dan apa akar permasalahan
yang menyebabkan kejadian tersebut? Selama ini akar permasalahannya adalah: (1)
warga belajar kurang dilibatkan dalam penyusunan program belajar, sehingga
dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan belajar warga belajar tidak dapat
digali, akhirnya substansi belajar atau jenis keterampilan yang dijadikan alat
untuk belajar keaksaraan menjadi kurang tepat dan kurang menarik minat belajar
warga belajar; (2) tutor/sumber belajar kurang memahamimetode pembelajaran
pendidikan luar sekolah yakni metode pembelajaran orang dewasa (andragogi);
akibatnya komunikasi dua arah tidak terjadi dalam proses pembelajaran; (3)
keterbatasan serta kurang sesuainya substansi/materi sarana belajar.
Ketidaksesuaian materi sarana belajar memang sangat mungkin terjadi karena
selama ini masih banyak sarana belajar yang dipakai dikembangkan di luar kelompok
belajar.
Secara konseptual program keaksaraan fungsional, sarana belajarnya harus
dikembangkan oleh warga belajar dan difasilitasi oleh tutor, sehingga dalam
diri warga belajar timbul kebanggaan karena mempelajari bahan belajar sesuai kebutuhannya,
serta di samping itu pula ketidaksesuaian materi dengan kebutuhan belajar warga
belajar kemungkinan akan terjadi sangat kecil. Namun demikian, masih banyak
juga ditemui bahwa tutor kurang mampu memfasilitasi warga belajar dalam
mengembangkan sarana belajar, baik akibat kurangnya kemampuan tutor dalam
mengembangkan sarana belajar KF maupun rendahnya motivasi mereka dalam
memberikan pelayanan terbaik bagi sesamanya. Akibatnya, sarana belajar yang
dikembangkan memiliki mutu yang perlu dipertanyakan baik dari segi isi, cara penyampaian
dan penampilan.
3. PENTAHAPAN PROGRAM YANG TIDAK JELAS
Dalam program belajar keaksaraan fungsional, dikenal tiga tahap penyelenggaraan
program, yakni: tahap pemberantasan, tahap pembinaan, dan tahap pelestarian.
Dalam pelaksanaannya di lapangan sangat sulit membedakan apakah kelompok
belajar tersebut termasuk tahap pemberantasan, pembinaan atau pelestarian.
Akar permasalahan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah sampai saat
ini konsep tahapan ini tidak tertulis secara jelas, sehingga tidak dapat
diketahui secara pasti, apa yang menjadi kriteria jika suatu kelompok belajar
dapat dikatakan masuk dalam salah satu dari ketiga tahapan belajar tersebut. Di
masa mendatang sangat perlu diterbitkan atau paling tidak ada konsep tertulis
apa yang membedakan antara ketiga tahapan tersebut, selain faktor waktu. Karena
mungkin saja satu kelompok belajar telah belajar lebih dari 6 bulan, tetapi belum
dapat dikatakan naik ke tahap berikutnya akibat kemampuan standard yang dimiliki
pada tahap tertentu belum tercapai.
4. KELOMPOK BELAJAR
Setiap kelompok belajar dalam program keaksaraan fungsional rata-rata
terdiri dari 10 orang warga belajar. Cukup kecil memang, tetapi kenyataan yang
di lapangan ternyata kelompok yang sedemikian kecilnya ternyata sangat sulit
untuk dipertahankan sampai proses belajar selesai. Walaupun jumlah kelompok
utuh sepuluh orang, tetapi biasanya kalau ditelusuri secara seksama sering
terjadi tambalsulam.
Tambal-sulam ini terjadi karena ada dari sebagian petugas bermental
“asal atasan senang” atau bermental “yang penting kelompok belajar utuh 10
orang” tidak melaporkan apa yang terjadi sebenarnya di lapangan. Dengan
kejadian seperti ini kemajuan belajar tidak dapat diketahui secara pasti karena
dalam kelompok tersebut ada warga belajar yang mulai dari awal, ada yang pertengahan,
bahkan ada pula yang baru bergabung ketika kelompok belajar
tersebut akan dipantau. Ada beberapa hal yang menyebabkan kejadian ini berlangsung,
antara lair: (1) mobilitas warga belajar sangat tinggi; hal ini terjadi karena
hampir seluruh warga belajar program keaksaraan fungsional adalah orang miskin,
baik itu miskin ilmu, miskin kemampuan, dan yang paling berat adalah miskin ekonomi/harta.
Oleh karena itu, pemenuhan ekonomi menjadi prioritas utama bagi sebagian besar
dari mereka. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak jarang memaksa mereka harus
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan pindah ke propinsi
lain.
Kejadian seperti di atas sangat sulit untuk dihindari, karena bagaimana
pun baiknya program belajar, jika tidak langsung memberikan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan warga belajar, terutama dalam hal pemecahan masalah
ekonomi, maka mobilitas warga belajar sangat sulit untuk dihindari. (2)
Ketidak-utuhan kelompok belajar juga dipengaruhi oleh kekurangsesuaian antara
materi belajar dengan kebutuhan dan minat belajar warga belajar. Hal ini
terjadi karena sering sekali petugas (tutor atau fasilitator) tidak mau
pusing-pusing untuk berusaha memenuhi kebutuhan belajar warga belajar, sehingga
bukan upaya untuk memenuhi kebutuhan belajar warga belajar yang terjadi, tetapi
apa yang mampu dilaksanakan
oleh petugas itulah yang harus dipelajari oleh warga belajar.
Dengan demikian warga belajar menjadi tidak betah belajar, karena apa
yang mereka harapkan dari proses belajar tidak diperolehnya, dan akhirnya
mereka mengundurkan din atau putus belajar. (3) Kesalahan dalam penempatan
kelompok belajar (lokasi) juga merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya mempertahankan
keutuhan kelompok belajar. Hampir semua petugas memahami bahwa lokasi kelompok
belajar seharusnya dekat atau berada di sekitar pemukiman warga belajar, tetapi
biasanya tempat belajar beserta sarananya tidak ada di sekitar pemukiman
kelompok belajar. Biasanya kenyataan seperti ini memaksa petugas
untuk mencari tempat belajar di luar pemukiman warga belajar.
Sangat sulit memang mencari pemecahan masalah seperti tersebut di atas, oleh
karenanya sejak bulan Agustus 1998, telah dirintis pelembagaan Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga
kendala-kendala tersebut sedapat mungkin dapat dihindari. Sedangkan bagi
kelompok belajar yang tidak mungkin belajar di PKBM, tidak harus dilaksanakan di
PKBM, tetapi masih berada di bawah pengawasan/kendali oleh PKBM.
5. HASIL BELAJAR
Hasil belajar dalam program keaksaraan fungsional adalah di samping
warga belajar memiliki kemampuan baca, tulis, hitung, dan berbahasa Indonesia,
juga memiliki keterampilan bermata pencaharian yang dapat dijadikan sumber penghasilan
(fungsional), artinya hasil belajar tersebut bermakna, paling tidak terhadap
dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu,
program pembelajaran, seharusnya diarahkan pada suatu tujuan hasil belajar tersebut
di atas, dan sudah barang tentu antara satu warga belajar dengan warga belajar
lain memiliki kebutuhan belajar yang berbeda, atau paling tidak antara satu kelompok
belajar dengan kelompok belajar lain kebutuhan belajarnya berbeda.
Kejadian atau kenyataan di lapangan yang sering ditemui, ternyata hasil
belajar yang diperoleh oleh warga belajar KF baru terbatas pada kemampuan baca,
tulis, hitung semata (itu pun sangat terbatas), tetapi belum sepenuhnya dapat
memberikan makna terhadap kehidupannya (kurang fungsional). Kenapa hal ini
terjadi? Pertama, sampai saat ini setiap kelompok belajar belum memiliki patokan
yang jelas, hasil belajar apa yang ingin dicapai.
Contoh : jika kelompok belajar KF belajar baca, tulis, hitung, dan
bahasa Indonesia melalui keterampilan menjahit, maka seharusnya ada standard
sampai di mana? atau sampai tingkat kemampuan apa?...baca, tulis, hitung dan
berbahasa Indonesia warga belajar, serta dalam hal keterampilan warga belajar
selesai sampai terampil membuat apa...? Sehingga dengan demikian ada batasan
yang jelas kapan warga belajar berhenti belajar untuk tahapan tertentu.
Karena jika warga belajar, belajar terus tanpa ada batasan sampai kapan?
Dan tingkat kemampuan apa?, lama-kelamaan akan dapat menurunkan motivasi
belajar, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya putus belajar.
Contoh kecil yang mungkin dapat dijadikan acuan adalah “belajar setir
mobil” seseorang akan berhenti belajar setir mobil, jika warga belajar tersebut
telah dinyatakan lulus oleh kepolisian dengan bukti diberikan Surat Izin
Mengemudi (SIM). Sementara di lain pihak pedoman atau petunjuk bagaimana
mengevaluasi hasil belajar KF (baik untuk pengetahuan maupun keterampilan)
sampai saat ini belum ada, padahal sesulit/semudah apapun pelajaran dalam
program pembelajaran harus ada sistem evaluasinya untuk mengetahui kemajuan dan
hasil belajarnya.
Di bidang sertifikasi juga dalam keaksaraan fungsional sangat perlu
untuk mengetahui sudah berapa banyak masyarakat yang terbebas dari buta aksara
serta dapat memberikan kebanggaan bagi warga belajar; karena telah memegang
tanda bukti bahwa mereka sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan baca, tulis,
hitung, dan berbahasa Indonesia.
Dengan adanya sertifikasi, dapat dihindari kesalahan dalam pendataan
oleh BPS, karena pengalaman menunjukkan bahwa bagi setiap penduduk yang tidak sekolah
(jalur sekolah) dan putus sekolah dasar kelas I, II dan III oleh petugas statistik
dimasukkan ke dalam kategori buta huruf. Namun jika warga masyarakat yang masuk
ke dalam kategori tersebut tetapi telah memiliki sertifikat dari program keaksaraan
fungsional hal tersebut dapat dihindari. Dulu memang ketika masih program
pemberantasan buta aksara bernama Program Kejar Paket A, setiap warga belajar
yang telah mengikuti satu tahapan belajar dan dinyatakan lulus diberikan STSB,
yaitu Surat Tanda Serta Belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Adizes Ishak. Corporate Life Cycle. Prentice Hall. 1988.
Baudin Taufik. Brain Ware Management. Max Media Kopertindo. Jakarta.
1998.
George Binney & Collin Williams. Learning Into The Future. Nicholas
Brealy Lander. 1997.
Joyomartono, Mulyono. (1991). Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat
dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Nugroho, Heru. Menumbuhkan Ide-Ide Kritis. Putaka Pelajar (Anggota
IKAPI). 2001
Rahman, Nurdin. 1989. Instruksional
Material Perencanaan Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Sahabuddin. 1985. Pendidikan
Nonformal, Suatu Pengentar Ke dalam Pemahaman Konsep dan Prinsip-Prinsip
Pengembangan. IKIP Ujungpandang.
Sudjana, HD. 1991. Pendidikan
Luar Sekolah, Wawasan sejarah Perkembangan Falsafah dan Teori & Pendukung
Azas. Bandung: Nusantara Pers.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional.
Jakarta: Citra Umbara.
Biodata Penulis:
Habib Prastyo, Lulusan PLS S1 Universitas Negeri Jakarta ini terlahir di Jakarta tanggal
07 Januari 1983. Bekerja sebagai Staf Pembantu Pimpinan di BP-PAUDNI Regional
IV Banjarbaru. Sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pascasarjana Program Studi
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Universitas Negeri Malang mendapatkan Beasiswa
Unggulan Bagi Pegawai dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Tahun 2012 Kemdikbud
0 komentar:
:1: :2: :3: :4: :5: :6: :7: Posting Komentar